FORUM IDEKITA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAKARTA

Senin, 16 November 2009

JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN, "JURUSAN COBA-COBA" (Tanggapan Pada Surat Pembaca Majalah Didaktika)

14/02/09

Secara substantif, jelas dan singkat keluhan tersebut sudah sama-sama kita baca dalam “DIDAKTIKA“ edisi no.35/th.XXXV/2008 hal.5.
Keluhan ini timbul sebagai dampak dan risiko perubahan IKIP menjadi Universitas yang sejak awal dipicu oleh kebijakan dan program yang keliru (misleading) dalam memandang IKIP sebagai sebuah LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan).
Kebijakan itu disebut sebagai kebijakan yang keliru dan timbul oleh profesionalisme dan persepsi yang lemah dan dangkal dalam memandang fungsi dan status Guru dalam masyarakat. Lebih celaka lagi kebijakan itu ditetapkan dan diberlakukan oleh mereka-mereka yang sama sekali tidak dididik, dibina dan dikembangkan dalam profesi keguruan dan pendidikan. Jadi hakikatnya mereka manusia awam yang sama sekali tidak professional dalam bidang yang mereka tetapkan kebijakannya. Sifat awam mereka ditandai dengan hal-hal sebagai berikut :

1). Mereka asing sama sekali tentang fungsi guru baik secara pribadi dan sosial. Mereka tak pernah tahu bahwa dalam masyarakat Indonesia urutan fungsi dan status guru dinyatakan dalam ungkapan klasik : ”guru, pandito, ratu, wong atuo karo”. Artinya masyarakat Indonesia secara tradisional memandang gurulah yang pertama, kedua : pendeta, kyai ; ketiga : pemerintah (ratu, Indonesia sering diperintah oleh raja-raja perempuan : Ratu Shima, Ratu Baka (saat kerajaan Hindu dan Budha berkembang di Jawa Tengah abad ke empat sampai abad ke sembilan), Tribuana Tunggadewi = ibu Hayam Wuruk = era Majapahit); keempat : orang tua; dan kelima : maratua = mertua.

Karena perubahan social ekonomi, politik, cultural yang berlangsung dari masa penjajahan dan bahkan pasca Proklamasi Kemerdekaan, ungkapan tersebut mengalami perubahan menjadi : Ratu, maratua, wong atua, pendeta dan baru guru. Artinya guru secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar dimarginalkan dalam posisi yang paling rendah. Alasannya jelas karena posisi, status dan fungsi guru memang secara materiel termasuk kelas berpenghasilan rendah, kelompok tak berpunya, miskin dan karenanya dalam masyarakat yang makin memuja materi dan kekuasaan seperti yang terjadi sekarang ini, maka memang status dan fungsi guru dipandang rendah !!!

2). Tenggelam dalam perubahan paradigma status guru di atas, mereka menjadi keliru dalam memandang status IKIP /LPTK hanya sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan orang-orang yang pasti rendah baik dalam fungsi dan statusnya dalam masyarakat. Mereka menjadi resah, gelisah bahkan malu akan keberadaan IKIP/LPTK!!! Dalam situasi demikian muncullah “ide gila” yang ingin menyeragamkan semua lembaga pendidikan Tinggi (IKIP/LPTK) menjadi satu bentuk yang secara acak diseragamkan dan disebuat UNIVERSITAS. Maka berubahlah semua IKIP/LPTK di Indonesia menjadi sbb:
• Unimed (Universitas Negeri Medan) di Medan;
• Unipa (Universitas Negeri Padang);
• UNJ (Univesritas Negeri Jakarta);
• Unes (Universitas Negeri Semarang);
• UNY (universitas Negeri Yogyakarta)
• Unima (Universitas Neger Malang);
• UNM (Universitas Negeri Makasar)
• UNIMA (Universitas Negeri Manado) di Tondano.

3). Sejak awal perkembangannya Universitas-universitas Negeri baru sebagai transformasi dari bentuk IKIP/LPTK mengalami dilema berkepanjangan. ”Wider mandate” yang seharusnya mensejajarkan fungsi universitas ini sekaligus sebagai LPTK, ternyata hanya “sebuah wacana di atas kertas”. Di kalangan kebanyakan sivitas-akademikanya sendiri (karena masih memandang dan bersikap status dan fungsi guru itu rendah di mata mereka) maka terdapat kecendrungan yang kuat untuk lebih mengembangkan ilmu-ilmu murni yang “non kependidikan”. Namun penguasaan mereka akan disiplin ilmu murni yang lemah, menyebabkan kemampuan mengembangkan ilmu-ilmu murni itu hakikatnya “masih harus belajar lagi dari awal”. Maka berkembanglah ungkapan yang memprihatinkan dalam proses penerapan “wider mandate” ialah timbulnya situasi, realita, dan ungkapan yang selalu ingin ditutup-tutupi ialah: ”mendidik guru malu, mengembangkan ilmu murni tak mampu”. Hal ini terjadi di hampir semua Universitas-Universitas Negeri yang awalnya berbentuk IKIP/LPTK. Contoh yang nyata-nyata realita ini adalah apa yang terjadi pada perubahan Jurusan Psikologi Pendidikan menjadi Jurusan Psikologi, yang oleh mahasiswanya disebut sebagai “Jurusan Coba-Coba”.

4). Secara ilmiah objektif munculnya “Jurusan Coba-Coba” itu sama sekali melanggar kaidah-kaidah keilmuan dalam tiga hal:
(a). Kerancuan penyamaan Disiplin Ilmu Psikologi Pendidikan yang diperlakukan sama dan identik dengan Ilmu Psikologi. Ilmu Psikologi Pendidikan adalah bagaimana penerapan ilmu psikologi dalam “setting dan proses-proses pendidikan”. Sedangkan Ilmu Psikologi adalah disiplin ilmu yang mengakji dan mengembangkan proses-proses kejiwaan dalam diri manusia baik secara pribadi (individual) maupun social.

(b). Kerancuan dalam proses pembentukannya. Semua para akademisi dan intelektual di bidang ilmu-ilmu pendidikan tahu bahwa setiap bentukan baru lembaga pendidikan (baik universitas, Perguruan Tinggi, Sekolah Tinggi Fakultas, Jurusan berikut kurikulumnya) harus berawal dari penilaian kebutuhan pendidikan/ latihan (“needs assessment education and training”). Penilaian kebutuhan ini dilakukan melalui survai lapangan dengan melibatkan semua unsur yang berkepentingan dengan rencana pembentukan kelembagaan pendidikan itu. Mereka–mereka adalah meliputi : stackeholders (mahasiswa, orang tua, masyarakat), para lembaga yang berpotensi menjadi pemakai lulusan lembaga pendidikan yang dirancang pembentukannya (users), para akademisi di bidang ilmu yang menjadi disiplin utama lembaga pendidikan yang akan dibentuk.

(c). Kerancuan dan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah keilmuan
(i). Apakah perubahan “jurusan coba-coba” itu sesuai dengan realita kebutuhan dan bukan karena emosi/perasaan seseorang atau kelompok dalam FIP UNJ?
(ii). Apakah perubahan “jurusan coba-coba” itu memenuhi logika, akal sehat/ rasional yang menjadi kebutuhan nyata di lapangan? Mengapa Jurusan Psikologi Pendidikan harus dihapuskan dan digantikan dengan Jurusan Psikologi ? Inilah salah satu bukti tidak dipahaminya prinsip “wider mandate” bahkan dikalangan para dosen-dosen sendiri!!!

(iii). Apakah perubahan “jurusan coba-coba” itu secara objektif memang sudah dibutuhkan ? Kalau dibutuhkan mengapa Jurusan Psikologi Pendidikan yang merupakan bagian dari kelanjutan institusi LPTK harus dihapuskan ?

(iv). Apakah ada rujukan/referensi bahwa pembentukan Jurusan Psikologi dalam Universitas yang melakukan fungsi-fungsi “wider mandate” mengharuskan peniadaan Jurusan Psikologi Pendidikan ?

(v). Apakah dalam dunia ilmiah ada pengalaman nyata bahwa pembentukan satu jurusan (coba-coba) harus menghilangkan jurusan lainnya yang secara fungsional masih diperlukan terutama dalam pelaksanaan prinsip dan misi “wider mandate”?

(vi). Apakah pembentukan “jurusan coba-coba” benar-benar telah dilakukan secara sistematik dan metodologik sehingga tidak menimbulkan kerancuan, anomaly, keheranan dan penyimpangan azas-azas keilmuan ?


Kesemuanya yang kami uraikan di atas adalah drama yang memprihatikan dan terjadi pada semua Universitas mantan IKIP. Bukan hanya terjadi pada FIP tetapi juga pada fakultas-fakultas lain, dan bukan juga hanya terjadi di UNJ tapi juga di universitas lain mantan IKIP.
Terdapat banyak kelemahan dalam proses transformasi IKIP menjadi Universitas :
(1). Proses sosialisasi yang langka dan tak terprogram kepada public bahkan kepada sivitas akademikanya sendiri.
(2). Manajemen masih berlangsung secara “business as usual” sehingga penataan dan penerapan misi “wider mandate” sangat diabaikan.
(3). Paradigma lama tentang universitas masih merajai kehidupan di kampus, sehingga baik kurikulum, pendekatan belajar (yang seharusnya “student centre”, dosen-dosen masih tetap memuja “teacher centre”), metode belajar, proses belajar mengajar, penilaian belajar, juga masih berlangsung secara “business as usual”.
(4) Life skill di kalangan sivitas akademika masih sangat memprihatinkan sehingga a.l hasrat ingin tahu (curiousity), minat baca; kemampuan berpikir yang lebih tinggi (higher order thingking), pola pikir (mind set) belum sesuai dengan yang diharapkan.
(5). Langkanya forum-forum ilmiah di kampus yang berdampak tidak terjadi perkembangan apapun dalam nilai tambah pada bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Dampak dari kesemuanya di atas adalah munculnya ungkapan bahwa Universitas itu mahal dan tidak bermutu !!!!

Jakarta, Cilandak-Barat, 17 Oktober 2008.
IMAM CHOURMAIN-PPS UNJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar