FORUM IDEKITA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAKARTA

Senin, 16 November 2009

IRONI UNJ BERBUDAYA WIRAUSAHA

02/02/09

oleh\ muh ivan azhari

Seolah kita adalah objek, dan mereka adalah subjek. Kontraproduktif mahasiswa sebagai agent of social change haruskah terkebiri dengan proyek besar bernama UNJ-BW? Suasana pelatihan Kewirausahaan di Lembang, Bandung dari 31 Juli-2 Agustus mengirim aroma tak sedap terutama bagi sebagian kalangan yang merasa UNJ-BW tak lebih dari sekadar menakar pendidikan dengan ukuran kapitalisme yang notabene sebagai prasyarat mendukung kapitalisasi dunia pendidikan.

Perguruan Tinggi adalah tren-setter produk pembangunan masyarakat. Apapun bentuk produknya, selayaknya bukan sekadar menghidupkan gaya hidup konsumtif tetapi pula memanusiakan manusia dalam konteks yang utuh, holistik, dan menyeluruh. Terkait dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), apalagi dengan diterapkannya UNJ-BW makin mengeskalasi bahwa brand UNJ akan bergeser dari keguruan menjadi “industri” pendidikan. Pendidikan akan menjadi komoditas yang selanjutnya mengubah UNJ menjadi kampus yang berhasil dikapitalisasikan.

UNJ nyata-nyata belum membenturkan sense of crises terhadap dunia pendidikan yang makin terpinggirkan. Entahlah apakah semakin hilang atau pupus kebanggaan sebagai orang pendidikan. Yang pasti, biaya tinggi akan menguras kantong pendapatan orang tua, tanpa adanya upaya keras bagaimana meminimalisir biaya dengan cara-cara yang lebih elegan, kreatif, dan tentunya, tak menguras air mata penderitaan bagi mahasiswa miskin. Atau mungkin, networking yang dijalin oleh UNJ dengan “kabinet” pasca Sutjipto terus-terusan masih belajar beradaptasi. Sampai titik ini, kita terlupa bahwa jalan panjang menuju jiwa wirausaha mesti dimulai dari sejauh apa dan mana jiwa wirausaha itu terinternalisasi di tubuh birokrat sendiri. Mungkin kita pula harus bertanya background dari tim UNJ-BW sendiri?

Orang menyangka bahwa kapitalisme ada mitos. Salah satu mitos, dalam artian, kita bisa percaya, bisa juga tidak, adalah orang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan semakin miskin. Kenyataan ini bukan mitos lagi, ada dimana-mana baik di kota atau di desa. Memang lingkup kapitalisme tak cukup menaklukan tesis bahwa problematikan di UNJ bisa diselesaikan dengan UNJ-BW. Karena di tingkatan nasional, pemerintah juga belum bisa berbuat banyak, terlebih dengan akan diundangkannya Badan Hukum Pendidikan. Tentu saja, konsesus politik yang demikian telah membawa kekalutan di sebagai PTN yang selama ini hidup dari subsidi. Maka, proyek besar ini akan secara berkelanjutan dan terus-menerus mau tidak mau harus diterapkan, utamanya di jurusan. Akankah konsep ini berlawanan Tri Dharma Perguruan Tinggi bahkan Pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa? Kalaulah mau bermain di zona aman, maka menjadi kaum masochist (kenikmatan dalam penderitaan) adalah sebuah pilihan.

Ternyata berjiwa besar tak cukup, kita perlu berpikir besar, visible, dan jernih. Namun kalau sudah menyangkut penderitaan, akankah ada kesenangan di dalamnya? Pemikiran dari berbagai sudut pandang kiranya perlu menjadi wawasan tersendiri dalam mengemudikan UNJ di masa mendatang. UNJ-BW hanya sekadar nama, belum tentu sistem yang bermain di dalamnya sesuai dengan nalar khas setiap jurusan. Penting pula untuk membicarakan transformasi kualitas tenaga pengajar atau dosen yang akan lebih banyak berperan dalam menjalankan sistem ini. Bertahun-tahun kuliah, kita lebih senang mendapat nilai IPK tinggi daripada bertanya mau apa setelah lulus. Dekadensi cara berpikir ternyata berpengaruh besar terhadap mahasiswa. Kita ini adalah calon-calon penganggur yang kalau pandai berimprovisasi dan hanya mau tahu tentang jurusannya tanpa tahu bidang yang lain, maka dapat dikatakan bahwa gejala “fah idiot” yang berarti kita mengerti kayu, tetapi tak menguasai dan mengenal hutan. Inilah kiranya Tilaar menginginkan sebuah manifesto pendidikan nasional.

UNJ, yang jaraknya hanya 11 km dari Istana Negara semestinya bisa berperan lebih besar untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan problematika pendidikan. Siapapun menterinya, UNJ mesti punya ciri khas yang mengakar bukan hanya di tataran birokrat namun juga merumput. Dengan begitu, UNJ dapat menjadi cerminan bahwa orang-orang pendidikan tak hanya kreatif menyelenggarakan pendidikan biaya mahal. Kiranya, kita perlu bercermin bahwa banyak mahasiswa lebih memih PTS bukan lagi karena soal biaya, tetapi lebih pada kualitas dan manajemen serta integritas antara kata dan perbuatan, antara wacana dan aksi. Peran alumni dalam hal ini sangat berperan, sejauh mana alumni UNJ atau IKIP Jakarta itu bisa mempromosikan UNJ? Sudahkah optimal peran mereka?

Agar tak terjadi ketimpangan di kemudian hari, maka diskusi tentang wirausaha yang diadakan Tim UNJ-BW tak perlu khawatir, takut, dan anti-kritik terhadap wacana yang dikembangkan mahasiswa. Artinya, kesadaran kritis-objektif yang diwacanakan dapat dijawab secara professional oleh Tim UNJ-BW. Walau toh nyatanya, dalam pelatihan di Lembang lalu, tak ada forum tanya jawab, wajar jika sebagian mahasiswa kalut, kesal, dan kecewa. Wirausaha bukan hanya menjual, tetapi juga kritis terhadap produk apa yang sesuai atau tidak sesuai dengan brand UNJ. Bijaknya, menyediakan forum diskusi sebagai bentuk dialektika antar senior-junior, birokrat-awam, dan dosen-mahasiswa akan semakin memancing rasa penasaran, tanggung jawab moral, dan integritas yang sudah dibangun terlebih bagi Tim UNJ-BW sendiri.

Akhir kata, UNJ-BW bisa dikatakan sekadar simbol untuk menutup pola konvensional yang sayangnya belum ada manajemen yang mumpuni, jangan bertanya internalisasi, untuk sekadar sosialisasi saja masih diragukan. Kita juga perlu bertanya lagi mengenai nilai-nilai apa yang sudah terkonsolidasi dalam ruang UNJ sendiri. Kalau transisi menuju UNJ-BW saja dilegalkan dengan mematikan peran dialektika, maka hegemoni keordean birokrasi kita hanya bisa massif mempromosikan UNJ, tetapi lupa untuk mengakarkan benih-benih “pendidikan” apa yang sebenarnya hendak kita “ekspor” ke luar? Inilah pertanyaan yang akan tumbang bila kita mau mewacanakannya ini tidak secara linier, tetapi melingkar, holistik, dan menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar