FORUM IDEKITA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAKARTA

Senin, 01 Februari 2010

PLAN EDUCATION 2010



Minggu, 21 Februari 2010
MATERI I
SEMINAR“Mengkaji Batasan Kekerasan Guru Terhadap Anak Didik dalam Tinjauan Undang-Undang Perlindungan Anak”
Pembicara:
-Perwakilan dari komisi X DPR RI*
-Diena Haryana (Ketua Yayasan Sejiwa)
-Suparman (Ketua FGII)


Materi II:
“Cyberbullying, Potensi dan Dampaknya ditinjau dari Kajian Multidisipliner”
Pembicara:
- Prof. Hafid Abbas
(Perwakilan Dept. Hukum dan HAM)
- Dra. Evita Adnan, M.Psi
(Psikolog Pendidikan, Ketua P2TP2A)
- Lara Fridani, S.Psi, M.Psych
(Dosen PG-PAUD UNJ)


Kamis, 25 Februari 2010
THE ReadER-WritER 2010

Ini adalah salah satu acara pada rangkaian acara PLAN-EDUCATION 2010. ”Buku adalah jendela dunia”, suatu peribahasa yang sering dianggap usang dan ketinggalan zaman. Banyak yang menganggap sambil lalu peribahasa tersebut. Padahal jika ditelaah lebih jauh lagi, buku memang sumber dari semua pengetahuan. Banyak yang tidak menyadari hal tersebut dan membiarkan buku teronggok begitu saja. Minat untuk membeli buku memang ada tapi minat untuk membaca masih sangat kurang. Teman membaca buku adalah menulis. Oleh karena itu, Forum Idekita bermaksud mengadakan acara meresensi buku bersama dalam upaya meningkatkan minat baca tulis.

Bentuk Kegiatan:
1.Meresensi Buku Fiksi dan Non Fiksi
2.Meresensi Film.
3.Khusus untuk siswa SD (Mengambil intisari dari buku yang disediakan panitia)

Waktu : Kamis, 25 Februari 2010. Pkl. 08.00-17.00 WIB
Tempat :Lobbi Daksinapati UNJ
Syarat :
1.Peserta dibagi tiga kategori:
a.SD kelas IV –VI
b.SMP sederajat
c.SMA/SMK sederajat
2.Peserta adalah grup yang terdiri atas satu siswi dan satu siswa.
3.Tiap sekolah dapat mengirimkan perwakilannya lebih dari satu grup.
4.Menyerahkan fotokopi Kartu Pelajar/ Identitas lainnya.
5.Mengisi formulir pendaftaran.
6.Menyerahkan bukti pembayaran (tiap grup Rp 100.000,-).
7.Lima grup terbaik dari masing-masing kategori akan dikompetisikan langsung pada hari tersebut dihadapan para juri.

Fasilitas : Pin/Stiker, Lunch, Sertifikat, ATK menulis

Hadiah: Uang Tunai, Trophy, Sertifikat, dan paket hadiah buku dari sponsor

Penyelenggara:
FORUM IDEKITA (FIDE) FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA.
Jl. Rawamangun Muka, Ged. Daksinapati Lantai 1, Ruang 112, Kampus A UNJ, Jakarta Timur 13220.
CP: Fitri (02196755830), Nova (085693213286), Ewa (085719464985)

Selasa, 05 Januari 2010

LAPORAN WORKSHOP PENULISAN KREATIF (WPK) “Stimulasi Menulis Menjadi Pribadi Kreatif” Minggu, 3 Januari 2010


Laporan oleh Dian Ayu Novalia
(Ketua Umum Forum Idekita 2009-2010)

Romantisme liburan tahun baru memang masih menyerang aktivitas kita. Namun, tidak pada 103 orang yang memiliki motivasi dan keingintahuan yang tinggi untuk menulis, baik dari kalangan guru sejabodetabek, mahasiswa (UNJ, UHAMKA, UNINDRA, UNPAK), serta siswa (walaupun hanya satu orang). Motifnya berbagai ragam, baik ingin bisa menulis fiksi ataupun menulis ilmiah ataupun mengisi waktu luang. Mereka pun hadir dalam acara “Workshop Penulisan Kreatif”. Diadakan pada Minggu, 3 Januari 2010 dengan tema “Stimulasi Menulis Menuju Pribadi Kreatif.”

Hari Minggu biasanya orang berlibur, “hari keluarga”, ataupun hari beristirahat. No Working, No Thinking, No Action, But SLEEPING. Kuno memang kalau manusia zaman sekarang masih memikirkan berleha-leha sementara tantangan hidup besar. 103 orang ini memang benar-benar orang yang ingin belajar, termasuk panitia yang berjumlah 14 orang. Semangat yang tinggi kita tumbuhkan bersama.

Menurut laporan Ketua Pelaksana WPK (Annisatul Fitriah), tujuan dari acara ini yaitu merangsang kita semua agar memiliki motivasi menulis, baik menulis ilmiah dan fiksi. Bapak Dimyati selaku wakil dari Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ pun dalam sambutannya memberikan kita pencerahan awal dalam menulis. Dari bahasan IQRO (Baca), kemudian mengulas sedikit Alm. Gusdur yang memiliki semangat tinggi pula dalam menulis, sampai konsistensi untuk menulis yang harus ditumbuhkan dari dalam diri. Dalam sambutannya pula, beliau juga memberikan applause kepada panitia karena juga memiliki semangat yang tinggi untuk menyelenggarakan acara ini walaupun tidak mendapatkan bantuan dana dari Dekanat.

Untuk itu dihadirkan pembicara-pembicara yang berkompeten di bidang penulisan. Sesi pertama adalah Membangun Budaya Menulis dan Meneliti oleh Prof. Madya Dr. Ir. H. Nur Tjahjadi, M.Sc (UPSI Malaysia). Dimoderatori oleh Lara Fridani, S. Psi, M, Psych (dosen PAUD UNJ). Dua orang yang berkompeten dan telah menulis banyak buku ini membawakan materi dengan lebih akrab. Lebih banyak berdiskusi dan tanya jawab dengan peserta. Saya yakin peserta masih belum puas berkonsultasi dengan Prof. Nur Tjahjadi mengenai tulis menulis. Mungkin juga tentang jual beli rumah murah (he...). Pengalaman menulis Prof. Nur dapat dikatakan membawa berkah dalam kehidupan yang lebih baik. Diterima menjadi mahasiswa IPB dengan beasiswa karena melampirkan sertifikat juara 3 lomba menulis cerpen (sungguh unik). Untuk itu, beliau pun senang menyebarkan virus menulis ini dengan siapa saja, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Kompasiana.com adalah wadah beliau mengasah kreativitas menulis dan berbagi pemikiran. Lihat saja tulisannya yang sudah mencapai ratusan. Prof Nur menyemangati peserta untuk segera meluruskan tujuan menulis, apalagi Indonesia adalah lahan yang subur dan bebas untuk mengkritik. Kreativitas tidak dibelenggu oleh pemerintah. Jadi tidak ada kompromi untuk tidak menulis khususnya bagi orang Indonesia. Mulailah menulis dengan sederhana seperti pengalaman beliau, setelah mendapatkan materi Cabai, ia pun akan menulis tentang Cabai. Menulis yang dekat dengan kehidupan kita. Itulah awalan untuk bisa mulai menulis.

Saya melihat Prof. Nur adalah sosok Profesor yang merakyat. Baru kali ini saya dapat berbincang-bincang sangat akrab dengan ”Profesor”. Banyak sekali pengetahuan baru yang saya dapat dari beliau. Khususnya juga tentang Universitas yang berlatar belakang pendidikan. Di Malaysia, seseorang yang ingin menjadi guru harus belajar di UPSI terlebih dahulu. Universitas Pendidikan pun hanya satu yaitu Universiti Pendidikan Sultan Idris. Di Indonesia ada ratusan Universitas yang berlatar pendidikan, termasuk UNJ. Kesejahteraan guru di Malaysia pun sangat diperhatikan oleh pemerintah dengan gaji 4 – 5 juta. Profesi Guru adalah profesi yang mendapatkan prioritas dari pemerintah. Berbeda dengan Indonesia, apalagi untuk guru honorer. Salah satu peserta WPK berinisial SK pun bercerita kepada saya sungguh miris gajinya sebagai guru mengajar bahasa Inggris dari kelas I sampai VI. Sebulan hanya Rp 165.000,-. Padahal ia sudah mengajar 23 tahun lamanya (berpindah-pindah sekolah). Saking sayangnya dengan murid-muridnya, ia pun tidak terbuka dengan suaminya tentang gaji yang diperoleh. Ia pun menambahkan “angka 0” dibelakang gajinya. Kalau tidak seperti itu, mungkin suaminya akan meminta ia mundur sebagai guru. Ia tidak ingin hal itu terjadi. Berbagi ilmu pengetahuan kepada murid adalah yang ia kejar dan ia sangat menyenanginya. Sungguh sosok guru yang memiliki jiwa mulia. Terus berjuang Ibu SK.

Kembali lagi kepada Prof Nur. Asal muasal kami dapat mengundang beliau adalah rekomendasi dari Partnership Forum Idekita, Muh. Ivan dan Nining Parlina. Kami pun tertarik dengan tulisan Prof Nur yang berjudul Penelitian Tidak Terarah, Bangsa Amburadul. Sehingga tidak lebih dari 20 hari kami mempersiapkan semua keperluan WPK. Rapat, konsultasi, dan penyegeraan membagi pamflet ke sekolah-sekolah dan Universitas. Ketika berkonsultasi dengan Pembantu Rektor IV UNJ, Pak Soeprijanto memberikan wejangan kepada kami untuk benar-benar memperhatikan segala keperluan Prof. Nur. Intinya jangan sampai dikecewakan, baik hotel, penjemputan, dan sebagainya. Termasuk jumlah peserta dan sopan santun. Kami pun berusaha dengan sebaik mungkin mempersiapkan semuanya. Namun, Prof Nur benar-benar sosok yang rendah hati dan pengertian. Tidak terlalu birokratis bahkan tidak marah ketika kami jemput pagi sekali dan sesi beliau baru dimulai 1 jam kemudian. Bu Lara pun memediasi jalannya materi dengan pembawaan yang apik. Pekikan semangat menulis pun dilontarkan bersama-sama dengan peserta ketika akhir acara sambil berdiri.

Dalam sesinya, Prof Nur juga membandingkan penelitian di Indonesia dengan Malaysia. Di Malaysia, hasil skripsi S1 yang mendapatkan nilai A langsung diambil oleh kementerian Pendidikan dan diterapkan kembali. Di Indonesia, bahkan hasil tesis dan disertasi tidak dilirik pemerintah. Mengenai dana penelitian, di Indonesia 200 juta itu dipotong untuk berbagai pajak, kemudian sisanya peneliti sendiri yang urus (kesemuanya untuk penelitian atau sebagian untuk kepentingan pribadi). Di Malaysia, tidak ada honor peneliti (karena gaji sudah besar), dana penelitian dikeluarkan memang sejatinya untuk kegiatan penelitian.

Informasi diberikan segamblang-gamblangnya dan apa adanya oleh Prof. Nur. Tidak banyak teori dengan bahasa rumit tapi lebih kepada berbagai pengalaman dan pengetahuan. Peserta pun dapat mengikutinya dengan lebih mudah. Terima kasih Prof telah berbagi dengan kita. Kami pasti akan mencari kesempatan untuk dapat berbagi lebih dengan Prof Nur.


Tidak ada jeda untuk sesi kedua dan ketiga. Sesi kedua oleh Krisanjaya, M.Hum dengan bahasan Bahasa Kreatif dan dimoderatori oleh Hery Madkuri. Untuk urusan pemakaian bahasa, memang pak Kris ahlinya. Ia tidak memberikan teori-teori yang banyak. Tapi langsung kepada contoh-contoh pemakaian bahasa yang tepat dan kurang tepat bahkan tidak tepat. Seperti ”Beli 2 Dapat 1”, tentunya orang-orang tidak akan membelinya karena hanya dapat 1. Seharusnya, ”Beli 2 Gratis 1”, maka orang pun akan berduyun-duyun membeli. Untuk dapat memulai menulis, ia pun memberikan sedikit kiatnya, ”Harus jadi orang yang cepat bosan, Penggalian penginderaan mata, Membaca, Jangan pernah menunda, Tidak menyiapkan waktu khusus menulis (dimanapun dan kapanpun harus menulis), Berbagi (Bukan menjadi individu yang unggul, tetapi membuat komunitas unggul).” Games menggali pikiran pun dilakukan walaupun dalam waktu yang sebentar. Peserta diminta menuliskan apa saja yang berhubungan dengan ponsel dan meminta 2 perwakilan dari peserta maju untuk menyebutkan hasilnya masing-masing. Sesi ini pun sangat menarik. Namun, memang masih merasa kurang untuk sesi simulasinya.

Sudah pukul 12.00 siang, namun sesi ketiga dilangsungkan. Prof. Arief Rachman memajukan materi beliau yang seharusnya 12.30. Peserta tidak ada yang protes karena sosok Prof. Arief Racman ini memang ditunggu-tunggu banyak peserta karena menghibur sehingga materi yang dibawakannya lebih cepat diserap. Moderator sesi ini adalah saudari Duwi Nuryani. Prof. Arief Racman pun memotivasi peserta bahwa menjadi pribadi kreatif itu penting. Percaya diri dan harga diri adalah salah satu kuncinya. Untuk dapat menulis, harus dioptimalkan kemampuan mendengar, berbicara dan membaca terlebih dahulu. Seperti halnya ketentuan dalam keterampilan berbahasa. Menulis adalah aplikasnya.

Setelah istirahat makan dan shalat, sesi mentoring pun dilaksanakan oleh panitia. Peserta dibagi dalam empat kelompok. Dalam satu kelompok ada dua mentor. Tujuannya adalah simulasi menulis serta dekat dengan seluruh peserta. Peserta pun sangat antusias berbagi apalagi ketika sesi games diberikan oleh mentor-mentor, canda tawa memenuhi ruang aula perpustakaan. Keakraban pun benar-benar terjalin. Senang juga ngobrol ringan dengan peserta yang juga didominasi oleh para Ibu dan Bapak guru. Games menulis pun dilakukan. Heran juga melihat hasil tulisan peserta yang dihasilkan hanya dalam waktu 5 menit, karena banyak yang bagus. Setelah itu, dibacakan oleh masing-masing pemilik tulisan.

Acara mentoring pun ditutup karena Teh Pipiet Senja sudah hadir. Siapa yang tidak kenal dengan beliau, novelis ternama di Indonesia. Moderator dalam materi ”Creatifiction: Pentingnya Kreativitas Dalam Menulis Fiksi” ini adalah Ewa Purbowati. Bersama dengan Putrinya yang menurutnya sudah menulis 9 novel (Selamat ya Butet), Teh Pipiet bertolak dari Depok menuju Rawamangun, UNJ. Belum lama Teh Pipiet sembuh dari operasi yang menurutnya operasi yang paling besar dalam hidupnya, ia bersedia mengisi acara pada WPK. ”Ini acara pertama saya setelah operasi besar saya. 9 jam saya dioperasi,” Tuturnya. Sungguh kehormatan bagi kami karena Teh Pipiet bersedia datang. Terima kasih Teh, hati kami selaku panitia berbicara. Pada sesinya, beliau lebih memilih sharing-sharing kepada peserta. Karena tips-tips menulis bisa dibaca sendiri di FB atau Kompasiana. Pengalaman menulis Teh Pipiet luar biasa. Ketika remaja, ia berjalan ke balai desa untuk mengetik, ketika di rumah sakit pun ia menulis. Jari-jarinya terasa sakit ketika sudah bertahun-tahun mengetik, apalagi mengetik dengan mesin ketik jadul. Pasti penuh dengan tantangan. Pengalaman yang menarik pula dituturkan yaitu ia menggunting-gunting tulisan dan ditempel-tempelkan dikalimat yang salah ketik. Daripada mengetik ulang. “Namun itulah kreativitas, saya benar-benar merasakannya,” jelasnya. Melihat sosok Teh Pipiet, Penyakit Bukanlah Halangan Untuk Terus Berkarya Lewat Tulisan. Kita yang masih sehat, kenapa mengeluh, “AYO MENULIS, TIDAK ADA ALASAN.” Games menulis fiksi pun diberikan oleh Teh Pipiet. Hasilnya 4 orang peserta pemenang maju untuk membacakan dan mendapat hadiah.

Acara pun ditutup dengan sesi evaluasi yang diberikan peserta kepada panitia lewat tulisan. Segala kekurangan tentu ada dan akan kami perbaiki pada acara kami selanjutnya. Namun, secara keseluruhan, peserta sangat menikmati acara WPK. Semoga setelah acara yang hanya satu hari tersebut, peserta serta panitia lebih bersemangat untuk menelurkan karya-karyanya lewat tulisan. Apapun jenis tulisannya, teruslah menulis dan semoga bermanfaat bagi penulis serta pembacanya.

Kami, panitia Workshop Penulisan Kreatif mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang mendukung terselenggaranya acara kami.

Rabu, 25 November 2009

WAJAH GURU DI HARI GURU


Oleh: Dian Ayu Novalia
(Psikologi Pendidikan FIP UNJ 2005)

“…Guruku tersayang, guruku tercinta, tanpamu apa jadinya aku, tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal, guruku, terima kasihku….”Terima Kasih Guru oleh AFI Junior

Lirik lagu di atas merupakan salah satu apresiasi besar terhadap eksistensi guru dari anak didiknya. Siswa juga merasakan urgensi guru bagi hidup mereka (Tanpamu, apa jadinya aku...). Siswa dengan wajah polosnya akan mengikuti ucapan guru. Bahkan tingkah laku guru pun mereka contoh. Tanpa guru, orang tua di rumah pun tidak dapat menjamin anaknya disiplin menekuni sebuah ilmu. Sebegitu pentingnya posisi guru, menjadikan guru lebih berhati-hati berucap dan bertindak baik di sekolah maupun di luar jam mengajar.

Mendidik adalah amanah kemanusiaan bukan sekadar pekerjaan mencari uang. Belum sarapan, rumah tidak sempat dibersihkan, kosmetik dipoles seadanya, hal itu tidak menjadi prioritas mereka. Anak didik yang haus akan ilmu pengetahuan menunggunya di kelas. Ketika berhadapan dengan mereka, guru harus fokus mengajar. Pikiran lainnya disimpan terlebih dahulu.

Hari Guru Sedunia jatuh pada 5 Oktober. Sedangkan di Indonesia, Hari Guru diperingati setiap 25 November. Ini merupakan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Peringatan ini dimulai sejak 1994 dengan sebutan Hari Guru Nasional.

Euforia Hari Guru
Hari ini, ucapan selamat hari guru terdengar bukan hanya secara lisan, tetapi juga tulisan. Seharusnya pada hari jadinya ini, wajah para guru senang dan ceria. Realnya, wajah senang hanya topeng bagi kekurangan yang melingkupi hidupnya. Ketika mendidik siswa, kirutan wajah duka harus dihapuskan dengan senyum. Ikhlas mengajar menjadi landasan utama bagi guru. Selain peningkatan kompetensi dan pengetahuan. Ritme pengetahuan juga diperlukan oleh guru zaman sekarang. Anak didik dapat mengakses pengetahuan lewat dunia virtual secara luas. Pengetahuan guru pun harus diperluas pula. Membaca buku ditingkatkan, termasuk kegiatan menulis.

25 November telah disepakati menjadi Hari Guru Nasional. Berbagai pihak ikut memperingatinya. Berbagai seminar dan kegiatan dilaksanakan. Namun hiruk pikuk perayaannya hanya menjadi euforia belaka. Kapan kesejahteraan meningkat? Bagaimana pemerintah meningkatkan kompetensi guru? Seperti apa perekrutan guru profesional yang tepat? Bagaimana masa depan guru? Evaluasi apa yang telah dilaksanakan bagi kebijakan pendidikan yang telah digulirkan?

Hari Guru kiranya tidak menjamin kesejahteraan guru. Hari Guru juga tidak merubah peningkatan kompetensi guru. Hari Guru tidak akan mengubah kebijakan yang merugikan berbagai pihak. Sebut saja siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UN. Lalu, apa yang akan dihasilkan dari peringatan Hari Guru?

Benang Kusut Profesi Guru
Sementara itu, pelik permasalahan masih dirasakan oleh sebagian besar guru di Indonesia. Walaupun telah ada sertifikasi yang bila mendapatkannya, guru akan menerima gaji tiga kali lipat tiap tiga bulan sekali. Namun, masih saja belum terlaksana dengan maksimal. Sertifikasi pun belum menjamin guru mengajar secara profesional. Terkait hal ini, Prof Dr Baedhowi Msi (Dirjen PMPTK) memaparkan hasil survei terhadap responden penelitian yaitu 3.670 responden di lima kota di antaranya Jakarta dan Solo, dimana 64,36% atau 2.362 guru terlihat masih stagnan alias tidak meningkat kompetensinya (Solo-Espos). Hasil penelitian tersebut berdasarkan uji kompetensi guru dari segi kepribadian, sosial dan pedagogik (akademik kependidikan). Uji sertifikasi ini pun masih perlu banyak pembenahan, seperti diskriminasi kuota guru negeri dan swasta serta penambahan 90 jam untuk guru yang tidak lulus sertifikasi.

Pengakuan menjadi guru profesional pun bisa didapatkan melalui sertifikat hasil Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun, PPG belum tertata dengan rapi dan tepat. Masih perlu pembenahan. Belum tampak jelas perbedaannya dengan Akta IV, pendidikan akademik guru, juga uji sertifikasi. Karena pelaksanaan pendidikan untuk PPG masih identik.

Keruwetan memenuhi wajah guru di Indonesia. Profesionalisme mendidik harus diterapkan. Mengesampingkan benang kusut permasalahan pribadi harus dilakukan. Namun, keadilan belum menyapa jua. Guru pun memiliki double job untuk mengatasi pelik permasalahannya. Khususnya bagi guru honorer. Akhirnya, menjadi tukang ojek, pencuci piring, honor di tiga sekolah, serta pekerjaan halal lainnya pun ditekuni. Karena apalah nilai gaji 200 hingga 400 ribu untuk memenuhi kehidupan keluarga.

Konklusi
Lalu, akankah kondisi guru masih dirundung kebimbangan. Masa depan guru juga ada pada Muh. Nuh selaku menteri pendidikan saat ini. Dengan jumlah guru yaitu kurang lebih 2,7 juta jiwa, bagaimana kondisinya setelah Hari Guru usai.
Guru sebagai pencerdas generasi muda memiliki posisi penting bagi kelangsungan dan eksistensi negara. Posisi guru harusnya menjadi posisi yang strategis, namun kenyataannya juga malah tragis.

Kamis, 19 November 2009

ANUGERAH 7 KEBIASAAN BAGI CALON PEMIMPIN BANGSA



RESENSI BUKU
Judul : The Leader in Me
Penulis : Stephen R. Covey
Halaman : 294
Ukuran : 15 x 23 cm
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit : Juni 2009

Peresensi:
Dian Ayu Novalia (Psikologi Pendidikan 2005)

Bila kita hanya berupaya mencapai nilai tes tinggi, saya khawatir kita akan menciptakan generasi anak-anak yang tidak dapat melakukan apa-apa selain mengerjakan tes dengan baik.
Muriel Summmers, Kepala Sekolah (A.B Combs Elementary)


Kini, tiap negara harus memutar otak untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman yang serba cepat. Mereka berkompetisi mengunggulkan keunikan serta cipta kreasi untuk menunjukkan kehebatan. Jelas, ini tantangan. Pada dasarnya, tugas pemerintahlah untuk mengupayakan kinerja secara maksimal. Sistem harus dibuat agar warga negara tidak kaget teknologi dan informasi serta mampu berkompetisi. Bukan hanya siap peluru. Namun, membuat dan menembakkannya. Perlu cara untuk mempersiapkan individu-individu unggul.
Sekolah (pendidikan) adalah jawaban atas semua kekhawatiran yang menyelimuti wajah bangsa. Namun, pengajaran oleh guru membuat orang tua was-was dengan nasib anak-anaknya. Orang tua masa kini tahu bahwa anak tidak hanya butuh nilai baik, tapi pembekalan keterampilan hidup, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah hidup serta bagaimana berinteraksi ketika bekerja.

Jawaban atas kegelisahan guru
Meluncurnya pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari kegelisahan pendidik dan orang tua itu dijelaskan dalam buku The Leader in Me karya Stephen R. Covey yang terkenal sebagai salah satu orang yang berpengaruh di Amerika. Buku ini mengisahkan perubahan yang dilakukan oleh beberapa sekolah yang ada di dunia setelah membaca dan mengikuti presentasi 7 kebiasaan (7 habits) yang dibawakan Stephen R. Covey. Salah satu orang yang terkena virus 7 habits yaitu kepala sekolah magnet A.B Combs, Muriel Summmers. Bersama-sama dengan guru dan orang tua serta pemimpin bisnis, mereka berdiskusi dan sepakat bahwa anak perlu berbagai macam bekal untuk masa depan, bukan hanya nilai tinggi. Anak perlu memiliki keterampilan analitis, melek teknologi, kreatif, kerja sama tim, dapat memecahkan masalah, memimpin diri serta bekerja dengan beragam latar belakang manusia.
Kegiatan diskusi tersebut dilakukan Muriel karena ingin mencari inspirasi untuk merubah tema sekolah magnet yang akan ditutup satu minggu ke depan apabila tidak ada perubahan. Dari pemaparan itu, ia pun teringat presentasi yang dibawakan oleh Stephen R. Covey mengenai 7 kebiasaan di Washington DC. Ketujuh kebiasaan itu adalah 1) Jadilah Proaktif (bertanggung jawab, inisiatif, tidak menyalahkan, melakukan yang terbaik), 2) Mulai dengan tujuan akhir (penetapan target akhir, visi dan misi), 3) Dahulukan yang utama (menetapkan prioritas, membuat dan merealisasikan jadwal), 4) Berpikir menang-menang (mencari alternatif bila terjadi perselisihan), 5) Berusaha memahami dahulu, kemudian berusaha dipahami (mendengarkan terlebih dahulu, kemudian bersuara), 6) Wujudkan sinergi (kerjasama tim), 7) Mengasah gergaji (beraktivitas secara teratur dan positif).
Akhirnya Muriel pun mengambil tema kepemimpinan pada sekolah magnetnya. Perlu beberapa hari untuk mensosialisasikan kepada guru karena mereka yang akan mengajar. Menyamakan persepsi adalah langkah utama. Konsistensi para guru untuk mempelajari 7 habits menjadi modalnya.
Awalnya, guru-guru mengalami kesulitan untuk menerapkan dalam mengajar. Ada beberapa guru yang mengundurkan diri karena menganggap angka ujian akhir lebih penting. Namun, Muriel dan guru yang setuju tetap melanjutkan. Sukses pasti akan dihasilkan, itulah kepercayaan diri mereka.Seiring dengan berjalannya waktu, siswa-siswa mengalami kemajuan dalam meningkatkan kemampuan diri dan nilai ujian. Guru-guru yang meragukan tema kepemimpinan ini pun akhirnya kembali ke A.B Combs untuk mempelajari 7 habits dan mengajarkannya.
Beberapa tokoh mengungkapkan kepemimpinan adalah cara mengatur orang lain. Seperti pendapat Kreiner, bahwa kepemimpinan yaitu proses mempengaruhi orang lain. Sedangkan Hersey menambahkan bahwa leadership adalah usaha untuk mempengaruhi individual lain atau kelompok. Namun, kepemimpinan yang dimaksud disini adalah kemampuan memimpin diri sendiri dan dapat bekerja sama dengan orang lain. Prinsip kepemimpinan ini berfokus membantu siswa bertanggung jawab atas kehidupan mereka, bekerja dengan orang lain, dan melakukan hal yang benar meskipun tidak diperhatikan.
Adapun pendekatan belajar yang digunakan yaitu ubiquitous (pendekatan yang disesuaikan dengan segala sesuatu yang ada di sekolah). Contoh penerapannya yaitu pada pelajaran Membaca. Guru meminta kelas V membedah puisi ”I Dream a World”. Setelah membahas kosakata, struktur, dan arti, guru membagi peran pemimpin kepada tiap tim seperti juru tulis, pencatat waktu, juru bicara serta menuliskan makna utama puisi yang dikaitkan dengan 7 habits dan dikerjakan dalam tim di karton. Prinsip kepemimpinan ini selalu dijalankan di tiap aktivitas. Bila ada pengunjung, beberapa siswa ditunjuk untuk menjadi pemandu. Kemudian siswa diajarkan berpidato di depan publik. Bahkan siswa dipercaya mewancarai calon guru yang akan mengajar di sekolah mereka. Siswa dan guru memiliki hak suara yang sama.
Di lain pihak, 7 habits ini juga dibawa ke rumah. Salah satu orang tua tercengang mendengarkan percakapan anak mereka. Anak sulung mengatakan kepada adiknya bahwa mereka harus bersinergi untuk bermain bersama, jadi tidak usah berkelahi (7 habits ke-6).

Panutan yang ditunggu tiap sekolah
Robert house menyampaikan bahwa kepemimpinan yang efektif menggunakan dominasi, memiliki keyakinan diri, mempengaruhi dan menampilkan moralitas tinggi untuk meningkatkan karismatiknya. Dengan kharismanya, pemimpin menantang bawahan melahirkan karya istimewa.
Inilah yang dilakukan Muriel yang dengan gaya kepemimpinan demokratiknya mengajak seluruh komponen ikut serta mengeluarkan pendapat serta merencanakan dan melaksanakan bersama. Kepercayaan diri kepala sekolah pun diikuti oleh guru-guru. Siswa tidak hanya pintar berbicara, bersosialisasi, juga prestasi akademik yang meningkat.
Beberapa sekolah lain pun mengikuti kurikulum yang dipakai A.B Combs. Sekolah itu diantaranya English Estates Florida, Chestnut Grove, Adams County Illinois, sekolah di Kanada, Singapura, dan Jepang..
Buku ini mengajak para pendidik di seluruh dunia untuk benar-benar memanusiakan peserta didik. Guru harus percaya bahwa siswa memiliki kemampuan bila mendapatkan wadah yang tepat. Selain untuk guru, buku ini dapat menjadi rujukan bagi pemerintah saat ini agar belajar bagaimana mengorganisir dan mengembangkan potensi siswa sesuai dengan tujuan mendidik siswa yakni siswa memiliki karakter, watak, dan kepribadian yang baik. Bukan hanya nilai yang baik. Sebab bangsa ini butuh asupan nilai-nilai kebijaksanaan dan moral lebih.

Ketika Mengemis dijadikan Alibi Karena Keterbatasan



Oleh : Ewa Purbowati
Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa FIP UNJ 2008

Keterbatasan seringkali dijadikan hambatan untuk mendapatkan hak pekerjaan yang layak.Berbicara mengenai keterbatasan, banyak orang terutama yang ada di negeri tercinta Indonesia memiliki keterbatasan. Biasanya orang yang memiliki keterbatasan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi segala keterbatasan, menutupi dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Keterbatasan yang dimaksud disini adalah keterbatasan fisik, seperti tangan, kaki, penglihatan, pendengaran dan lain sebagainya.
Namun seringkali kita mendengar atau bahkan melihat secara nyata bahwa keterbatasan yang dimiliki seseorang dimanfaatkan untuk meminta-minta atau mengemis. Padahal bila ditilik, orang yang mempunyai keterbatasan ada kelebihan yang bisa mendukungnya, orang yang mempunyai keterbatasan juga mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Kita sering bertemu dengan mereka saat di bus atau dipinggir jalan. Mereka mencari uang dengan cara seperti itu. Mereka seolah-olah merasa tak berdaya, tak bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik atau dengan kata lain, keterbatasan dijadikan alibi untuk pekerjaan-pekerjaan yang seperti itu. Mereka merasa tak mampu untuk mendapatkan pekerjaan layaknya orang-orang normal lainnya. Padahal sebenarnya mereka juga layak untuk mendapatkan pekerjaan layaknya orang-orang normal.
Pemerintah juga terkesan mengesampingkan orang-orang yang memiliki keterbatasan, seperti halnya pekerjaan. Paling tidak, ada tindakan dengan mendirikan yayasan atau organisasi yang memang khusus untuk menangani segala permasalahan-permasalahan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami keterbatasan fisik. Sehingga mereka merasa benar-benar diperhatikan, terutama mengenai kesejahteraan hidupnya. Semoga juga bukan hanya menjadi sebuah angan-angan atau harapan semata namun dapat menjadi suatu kenyataan.

Bis Itu Bernama Pendidikan

Oleh: Annisatul Fitriah
Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah FIP UNJ 2007


Kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa? Dokter...Polisi...

Itulah percakapan yang acap kali muncul antara orangtua dan murid. Percakapan sederhana itu seperti telah menjadi tradisi. Hampir setiap orangtua selalu menanyakan hal yang sama kepada anak mereka ketika anak tersebut sudah mulai dapat mengucapkan kata. Tidak peduli jawaban polos tersebut dapat diwujudkan oleh anak mereka kelak atau tidak.
Dalam pencapaian itu, banyak sekali proses yang harus dilewati. Mulai dari bagaimana orangtua mengarahkan anak mereka dari balita hingga mereka mampu menentukan sendiri apa yang mereka inginkan. Proses tersebut tentu tidak akan berlangsung begitu saja. Dibutuhkan, serupa alat, untuk mencapainya yaitu pendidikan.
Mungkin terlalu melelahkan jika harus berbicara mengenai pendidikan yang ada di Indonesia. Banyak sekali problem yang menghinggapi dunia pendidikan di Indonesia. Yang paling ketara adalah soal Ujian Nasional (UN) yang baru saja usai dilaksanakan. Hampir setiap tahun selalu ada pro kontra penyelanggaraan UN. Kasus yang paling tersorot untuk tahun ini adalah pengulangan UN di sejumlah sekolah. Pengulangan ini tidak hanya menguras dana pemerintah tetapi juga berdampak pada psikologi siswa itu sendiri.
Tidak hanya sampai disitu saja. Masalah pembayaran uang masik sekolah juga masih selau menjadi perdebatan. Satu sisi menerima dengan legowo kenaikan uang masuk sekolah, satu sisi menolak keras dengan mahalnya dana pendidikan. Akibatnya banyak anak-anak kuarang mampu yang belum berkesempatan untuk menempuh pendidikan. Hal ini pula yang menimbulkan banyak pro kontra di masyarakat.
Masalah lain yang tidak kalah jamak ditemui di dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah sarana dan prasarana. Masih banyak ditemukan sekolah-sekolah yang belum sepenuhnya memiliki sarana dan prasarana pendukung proses belajar mengajar yang memadai. Bahkan masih ada beberapa sekolah yang tidak layak huni. Ini kontras dengan isi UUD ’45 yang menyatakan bahwa, “Pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara”, begitu yang tercantum di dalam UUD 1945.
Pun demikian, pendidikan sendiri tidak melulu berasal dari pendidikan formal. Bahkan pendidikan yang paling ditekankan adalah pendidikan di lingkup keluarga. Di sanalah anak diajarkan dasar pemahaman tentang segala hal. Jika pemahaman dari keluarganya kurang maka anak pun akan menerimanya dengan kurang pula. Peran orangtua sangat dibutuhkan disini.
Pendidikan bukanlah barang yang dapat didagangkan, bukan pula barang yang dapat dilupakan begitu saja, layaknya rongsokan. Melalui pendidikanlah sebuah cita-cita dapat tercapai. Layaknya kendaraan, pendidikan yang diisi dengan mesin yang paling bagus, maka akan dapat melaju dengan cepat pula (lancar).