FORUM IDEKITA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAKARTA

Rabu, 25 November 2009

WAJAH GURU DI HARI GURU


Oleh: Dian Ayu Novalia
(Psikologi Pendidikan FIP UNJ 2005)

“…Guruku tersayang, guruku tercinta, tanpamu apa jadinya aku, tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal, guruku, terima kasihku….”Terima Kasih Guru oleh AFI Junior

Lirik lagu di atas merupakan salah satu apresiasi besar terhadap eksistensi guru dari anak didiknya. Siswa juga merasakan urgensi guru bagi hidup mereka (Tanpamu, apa jadinya aku...). Siswa dengan wajah polosnya akan mengikuti ucapan guru. Bahkan tingkah laku guru pun mereka contoh. Tanpa guru, orang tua di rumah pun tidak dapat menjamin anaknya disiplin menekuni sebuah ilmu. Sebegitu pentingnya posisi guru, menjadikan guru lebih berhati-hati berucap dan bertindak baik di sekolah maupun di luar jam mengajar.

Mendidik adalah amanah kemanusiaan bukan sekadar pekerjaan mencari uang. Belum sarapan, rumah tidak sempat dibersihkan, kosmetik dipoles seadanya, hal itu tidak menjadi prioritas mereka. Anak didik yang haus akan ilmu pengetahuan menunggunya di kelas. Ketika berhadapan dengan mereka, guru harus fokus mengajar. Pikiran lainnya disimpan terlebih dahulu.

Hari Guru Sedunia jatuh pada 5 Oktober. Sedangkan di Indonesia, Hari Guru diperingati setiap 25 November. Ini merupakan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Peringatan ini dimulai sejak 1994 dengan sebutan Hari Guru Nasional.

Euforia Hari Guru
Hari ini, ucapan selamat hari guru terdengar bukan hanya secara lisan, tetapi juga tulisan. Seharusnya pada hari jadinya ini, wajah para guru senang dan ceria. Realnya, wajah senang hanya topeng bagi kekurangan yang melingkupi hidupnya. Ketika mendidik siswa, kirutan wajah duka harus dihapuskan dengan senyum. Ikhlas mengajar menjadi landasan utama bagi guru. Selain peningkatan kompetensi dan pengetahuan. Ritme pengetahuan juga diperlukan oleh guru zaman sekarang. Anak didik dapat mengakses pengetahuan lewat dunia virtual secara luas. Pengetahuan guru pun harus diperluas pula. Membaca buku ditingkatkan, termasuk kegiatan menulis.

25 November telah disepakati menjadi Hari Guru Nasional. Berbagai pihak ikut memperingatinya. Berbagai seminar dan kegiatan dilaksanakan. Namun hiruk pikuk perayaannya hanya menjadi euforia belaka. Kapan kesejahteraan meningkat? Bagaimana pemerintah meningkatkan kompetensi guru? Seperti apa perekrutan guru profesional yang tepat? Bagaimana masa depan guru? Evaluasi apa yang telah dilaksanakan bagi kebijakan pendidikan yang telah digulirkan?

Hari Guru kiranya tidak menjamin kesejahteraan guru. Hari Guru juga tidak merubah peningkatan kompetensi guru. Hari Guru tidak akan mengubah kebijakan yang merugikan berbagai pihak. Sebut saja siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UN. Lalu, apa yang akan dihasilkan dari peringatan Hari Guru?

Benang Kusut Profesi Guru
Sementara itu, pelik permasalahan masih dirasakan oleh sebagian besar guru di Indonesia. Walaupun telah ada sertifikasi yang bila mendapatkannya, guru akan menerima gaji tiga kali lipat tiap tiga bulan sekali. Namun, masih saja belum terlaksana dengan maksimal. Sertifikasi pun belum menjamin guru mengajar secara profesional. Terkait hal ini, Prof Dr Baedhowi Msi (Dirjen PMPTK) memaparkan hasil survei terhadap responden penelitian yaitu 3.670 responden di lima kota di antaranya Jakarta dan Solo, dimana 64,36% atau 2.362 guru terlihat masih stagnan alias tidak meningkat kompetensinya (Solo-Espos). Hasil penelitian tersebut berdasarkan uji kompetensi guru dari segi kepribadian, sosial dan pedagogik (akademik kependidikan). Uji sertifikasi ini pun masih perlu banyak pembenahan, seperti diskriminasi kuota guru negeri dan swasta serta penambahan 90 jam untuk guru yang tidak lulus sertifikasi.

Pengakuan menjadi guru profesional pun bisa didapatkan melalui sertifikat hasil Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun, PPG belum tertata dengan rapi dan tepat. Masih perlu pembenahan. Belum tampak jelas perbedaannya dengan Akta IV, pendidikan akademik guru, juga uji sertifikasi. Karena pelaksanaan pendidikan untuk PPG masih identik.

Keruwetan memenuhi wajah guru di Indonesia. Profesionalisme mendidik harus diterapkan. Mengesampingkan benang kusut permasalahan pribadi harus dilakukan. Namun, keadilan belum menyapa jua. Guru pun memiliki double job untuk mengatasi pelik permasalahannya. Khususnya bagi guru honorer. Akhirnya, menjadi tukang ojek, pencuci piring, honor di tiga sekolah, serta pekerjaan halal lainnya pun ditekuni. Karena apalah nilai gaji 200 hingga 400 ribu untuk memenuhi kehidupan keluarga.

Konklusi
Lalu, akankah kondisi guru masih dirundung kebimbangan. Masa depan guru juga ada pada Muh. Nuh selaku menteri pendidikan saat ini. Dengan jumlah guru yaitu kurang lebih 2,7 juta jiwa, bagaimana kondisinya setelah Hari Guru usai.
Guru sebagai pencerdas generasi muda memiliki posisi penting bagi kelangsungan dan eksistensi negara. Posisi guru harusnya menjadi posisi yang strategis, namun kenyataannya juga malah tragis.

Kamis, 19 November 2009

ANUGERAH 7 KEBIASAAN BAGI CALON PEMIMPIN BANGSA



RESENSI BUKU
Judul : The Leader in Me
Penulis : Stephen R. Covey
Halaman : 294
Ukuran : 15 x 23 cm
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit : Juni 2009

Peresensi:
Dian Ayu Novalia (Psikologi Pendidikan 2005)

Bila kita hanya berupaya mencapai nilai tes tinggi, saya khawatir kita akan menciptakan generasi anak-anak yang tidak dapat melakukan apa-apa selain mengerjakan tes dengan baik.
Muriel Summmers, Kepala Sekolah (A.B Combs Elementary)


Kini, tiap negara harus memutar otak untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman yang serba cepat. Mereka berkompetisi mengunggulkan keunikan serta cipta kreasi untuk menunjukkan kehebatan. Jelas, ini tantangan. Pada dasarnya, tugas pemerintahlah untuk mengupayakan kinerja secara maksimal. Sistem harus dibuat agar warga negara tidak kaget teknologi dan informasi serta mampu berkompetisi. Bukan hanya siap peluru. Namun, membuat dan menembakkannya. Perlu cara untuk mempersiapkan individu-individu unggul.
Sekolah (pendidikan) adalah jawaban atas semua kekhawatiran yang menyelimuti wajah bangsa. Namun, pengajaran oleh guru membuat orang tua was-was dengan nasib anak-anaknya. Orang tua masa kini tahu bahwa anak tidak hanya butuh nilai baik, tapi pembekalan keterampilan hidup, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah hidup serta bagaimana berinteraksi ketika bekerja.

Jawaban atas kegelisahan guru
Meluncurnya pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari kegelisahan pendidik dan orang tua itu dijelaskan dalam buku The Leader in Me karya Stephen R. Covey yang terkenal sebagai salah satu orang yang berpengaruh di Amerika. Buku ini mengisahkan perubahan yang dilakukan oleh beberapa sekolah yang ada di dunia setelah membaca dan mengikuti presentasi 7 kebiasaan (7 habits) yang dibawakan Stephen R. Covey. Salah satu orang yang terkena virus 7 habits yaitu kepala sekolah magnet A.B Combs, Muriel Summmers. Bersama-sama dengan guru dan orang tua serta pemimpin bisnis, mereka berdiskusi dan sepakat bahwa anak perlu berbagai macam bekal untuk masa depan, bukan hanya nilai tinggi. Anak perlu memiliki keterampilan analitis, melek teknologi, kreatif, kerja sama tim, dapat memecahkan masalah, memimpin diri serta bekerja dengan beragam latar belakang manusia.
Kegiatan diskusi tersebut dilakukan Muriel karena ingin mencari inspirasi untuk merubah tema sekolah magnet yang akan ditutup satu minggu ke depan apabila tidak ada perubahan. Dari pemaparan itu, ia pun teringat presentasi yang dibawakan oleh Stephen R. Covey mengenai 7 kebiasaan di Washington DC. Ketujuh kebiasaan itu adalah 1) Jadilah Proaktif (bertanggung jawab, inisiatif, tidak menyalahkan, melakukan yang terbaik), 2) Mulai dengan tujuan akhir (penetapan target akhir, visi dan misi), 3) Dahulukan yang utama (menetapkan prioritas, membuat dan merealisasikan jadwal), 4) Berpikir menang-menang (mencari alternatif bila terjadi perselisihan), 5) Berusaha memahami dahulu, kemudian berusaha dipahami (mendengarkan terlebih dahulu, kemudian bersuara), 6) Wujudkan sinergi (kerjasama tim), 7) Mengasah gergaji (beraktivitas secara teratur dan positif).
Akhirnya Muriel pun mengambil tema kepemimpinan pada sekolah magnetnya. Perlu beberapa hari untuk mensosialisasikan kepada guru karena mereka yang akan mengajar. Menyamakan persepsi adalah langkah utama. Konsistensi para guru untuk mempelajari 7 habits menjadi modalnya.
Awalnya, guru-guru mengalami kesulitan untuk menerapkan dalam mengajar. Ada beberapa guru yang mengundurkan diri karena menganggap angka ujian akhir lebih penting. Namun, Muriel dan guru yang setuju tetap melanjutkan. Sukses pasti akan dihasilkan, itulah kepercayaan diri mereka.Seiring dengan berjalannya waktu, siswa-siswa mengalami kemajuan dalam meningkatkan kemampuan diri dan nilai ujian. Guru-guru yang meragukan tema kepemimpinan ini pun akhirnya kembali ke A.B Combs untuk mempelajari 7 habits dan mengajarkannya.
Beberapa tokoh mengungkapkan kepemimpinan adalah cara mengatur orang lain. Seperti pendapat Kreiner, bahwa kepemimpinan yaitu proses mempengaruhi orang lain. Sedangkan Hersey menambahkan bahwa leadership adalah usaha untuk mempengaruhi individual lain atau kelompok. Namun, kepemimpinan yang dimaksud disini adalah kemampuan memimpin diri sendiri dan dapat bekerja sama dengan orang lain. Prinsip kepemimpinan ini berfokus membantu siswa bertanggung jawab atas kehidupan mereka, bekerja dengan orang lain, dan melakukan hal yang benar meskipun tidak diperhatikan.
Adapun pendekatan belajar yang digunakan yaitu ubiquitous (pendekatan yang disesuaikan dengan segala sesuatu yang ada di sekolah). Contoh penerapannya yaitu pada pelajaran Membaca. Guru meminta kelas V membedah puisi ”I Dream a World”. Setelah membahas kosakata, struktur, dan arti, guru membagi peran pemimpin kepada tiap tim seperti juru tulis, pencatat waktu, juru bicara serta menuliskan makna utama puisi yang dikaitkan dengan 7 habits dan dikerjakan dalam tim di karton. Prinsip kepemimpinan ini selalu dijalankan di tiap aktivitas. Bila ada pengunjung, beberapa siswa ditunjuk untuk menjadi pemandu. Kemudian siswa diajarkan berpidato di depan publik. Bahkan siswa dipercaya mewancarai calon guru yang akan mengajar di sekolah mereka. Siswa dan guru memiliki hak suara yang sama.
Di lain pihak, 7 habits ini juga dibawa ke rumah. Salah satu orang tua tercengang mendengarkan percakapan anak mereka. Anak sulung mengatakan kepada adiknya bahwa mereka harus bersinergi untuk bermain bersama, jadi tidak usah berkelahi (7 habits ke-6).

Panutan yang ditunggu tiap sekolah
Robert house menyampaikan bahwa kepemimpinan yang efektif menggunakan dominasi, memiliki keyakinan diri, mempengaruhi dan menampilkan moralitas tinggi untuk meningkatkan karismatiknya. Dengan kharismanya, pemimpin menantang bawahan melahirkan karya istimewa.
Inilah yang dilakukan Muriel yang dengan gaya kepemimpinan demokratiknya mengajak seluruh komponen ikut serta mengeluarkan pendapat serta merencanakan dan melaksanakan bersama. Kepercayaan diri kepala sekolah pun diikuti oleh guru-guru. Siswa tidak hanya pintar berbicara, bersosialisasi, juga prestasi akademik yang meningkat.
Beberapa sekolah lain pun mengikuti kurikulum yang dipakai A.B Combs. Sekolah itu diantaranya English Estates Florida, Chestnut Grove, Adams County Illinois, sekolah di Kanada, Singapura, dan Jepang..
Buku ini mengajak para pendidik di seluruh dunia untuk benar-benar memanusiakan peserta didik. Guru harus percaya bahwa siswa memiliki kemampuan bila mendapatkan wadah yang tepat. Selain untuk guru, buku ini dapat menjadi rujukan bagi pemerintah saat ini agar belajar bagaimana mengorganisir dan mengembangkan potensi siswa sesuai dengan tujuan mendidik siswa yakni siswa memiliki karakter, watak, dan kepribadian yang baik. Bukan hanya nilai yang baik. Sebab bangsa ini butuh asupan nilai-nilai kebijaksanaan dan moral lebih.

Ketika Mengemis dijadikan Alibi Karena Keterbatasan



Oleh : Ewa Purbowati
Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa FIP UNJ 2008

Keterbatasan seringkali dijadikan hambatan untuk mendapatkan hak pekerjaan yang layak.Berbicara mengenai keterbatasan, banyak orang terutama yang ada di negeri tercinta Indonesia memiliki keterbatasan. Biasanya orang yang memiliki keterbatasan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi segala keterbatasan, menutupi dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Keterbatasan yang dimaksud disini adalah keterbatasan fisik, seperti tangan, kaki, penglihatan, pendengaran dan lain sebagainya.
Namun seringkali kita mendengar atau bahkan melihat secara nyata bahwa keterbatasan yang dimiliki seseorang dimanfaatkan untuk meminta-minta atau mengemis. Padahal bila ditilik, orang yang mempunyai keterbatasan ada kelebihan yang bisa mendukungnya, orang yang mempunyai keterbatasan juga mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Kita sering bertemu dengan mereka saat di bus atau dipinggir jalan. Mereka mencari uang dengan cara seperti itu. Mereka seolah-olah merasa tak berdaya, tak bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik atau dengan kata lain, keterbatasan dijadikan alibi untuk pekerjaan-pekerjaan yang seperti itu. Mereka merasa tak mampu untuk mendapatkan pekerjaan layaknya orang-orang normal lainnya. Padahal sebenarnya mereka juga layak untuk mendapatkan pekerjaan layaknya orang-orang normal.
Pemerintah juga terkesan mengesampingkan orang-orang yang memiliki keterbatasan, seperti halnya pekerjaan. Paling tidak, ada tindakan dengan mendirikan yayasan atau organisasi yang memang khusus untuk menangani segala permasalahan-permasalahan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami keterbatasan fisik. Sehingga mereka merasa benar-benar diperhatikan, terutama mengenai kesejahteraan hidupnya. Semoga juga bukan hanya menjadi sebuah angan-angan atau harapan semata namun dapat menjadi suatu kenyataan.

Bis Itu Bernama Pendidikan

Oleh: Annisatul Fitriah
Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah FIP UNJ 2007


Kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa? Dokter...Polisi...

Itulah percakapan yang acap kali muncul antara orangtua dan murid. Percakapan sederhana itu seperti telah menjadi tradisi. Hampir setiap orangtua selalu menanyakan hal yang sama kepada anak mereka ketika anak tersebut sudah mulai dapat mengucapkan kata. Tidak peduli jawaban polos tersebut dapat diwujudkan oleh anak mereka kelak atau tidak.
Dalam pencapaian itu, banyak sekali proses yang harus dilewati. Mulai dari bagaimana orangtua mengarahkan anak mereka dari balita hingga mereka mampu menentukan sendiri apa yang mereka inginkan. Proses tersebut tentu tidak akan berlangsung begitu saja. Dibutuhkan, serupa alat, untuk mencapainya yaitu pendidikan.
Mungkin terlalu melelahkan jika harus berbicara mengenai pendidikan yang ada di Indonesia. Banyak sekali problem yang menghinggapi dunia pendidikan di Indonesia. Yang paling ketara adalah soal Ujian Nasional (UN) yang baru saja usai dilaksanakan. Hampir setiap tahun selalu ada pro kontra penyelanggaraan UN. Kasus yang paling tersorot untuk tahun ini adalah pengulangan UN di sejumlah sekolah. Pengulangan ini tidak hanya menguras dana pemerintah tetapi juga berdampak pada psikologi siswa itu sendiri.
Tidak hanya sampai disitu saja. Masalah pembayaran uang masik sekolah juga masih selau menjadi perdebatan. Satu sisi menerima dengan legowo kenaikan uang masuk sekolah, satu sisi menolak keras dengan mahalnya dana pendidikan. Akibatnya banyak anak-anak kuarang mampu yang belum berkesempatan untuk menempuh pendidikan. Hal ini pula yang menimbulkan banyak pro kontra di masyarakat.
Masalah lain yang tidak kalah jamak ditemui di dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah sarana dan prasarana. Masih banyak ditemukan sekolah-sekolah yang belum sepenuhnya memiliki sarana dan prasarana pendukung proses belajar mengajar yang memadai. Bahkan masih ada beberapa sekolah yang tidak layak huni. Ini kontras dengan isi UUD ’45 yang menyatakan bahwa, “Pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara”, begitu yang tercantum di dalam UUD 1945.
Pun demikian, pendidikan sendiri tidak melulu berasal dari pendidikan formal. Bahkan pendidikan yang paling ditekankan adalah pendidikan di lingkup keluarga. Di sanalah anak diajarkan dasar pemahaman tentang segala hal. Jika pemahaman dari keluarganya kurang maka anak pun akan menerimanya dengan kurang pula. Peran orangtua sangat dibutuhkan disini.
Pendidikan bukanlah barang yang dapat didagangkan, bukan pula barang yang dapat dilupakan begitu saja, layaknya rongsokan. Melalui pendidikanlah sebuah cita-cita dapat tercapai. Layaknya kendaraan, pendidikan yang diisi dengan mesin yang paling bagus, maka akan dapat melaju dengan cepat pula (lancar).

GEDUNG DAKSINAPATI, CASING PENARIK MATA

Cantik di luar, bobrok di dalam?

Pemugaran gedung FIP yang didanai IDB cukup menarik perhatian mahasiswa. Bagaimana tidak? Dari dana tersebut, FIP merenovasi fisik luar gedung. Tampilan luar yang minimalis dan eye cathching cukup menjadi magnet bagi mata untuk memandang agak lama. Proses mempercantik tampilan luar alias casing sudah berlangsung hampir satu tahun belakangan ini, membuat gedung Daksinapati terlihat seperti lahir kembali alias,Reborn. Dari segi publikasi dan pemasaran, wajah baru FIP ini dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih oleh calon mahasiswa yang sedang mencari-cari perguruan tinggi.
Namun sedikit disayangkan, pemugaran casing Daksinapati tersebut tidak serta merta perbaikan isi gedung. Ada hal yang-hal yang terlewatkan dan luput dari perhatian para petinggi Dekanat. Dari fakta yang terlihat di Daksinapati, banyak keluhan dari mahasiswa karena sarana dan prasarana di FIP minim kualitas dan kuantitasnya. Sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa selama di kampus. Banyak sarana dan prasarana yang bisa dikatakan masuk daftar list fasilitas umum yang harus segera diperbaiki.
Sebut saja sarana ruang kuliah yang jumlahnya sedikit. Ruang kuliah yang disediakan tidak dapat menampung quota warga belajar FIP yang jumlahnya 4000-an mahasiswa. Tak heran banyak gontok-gontokan antar sekelompok mahasiswa untuk memperebutkan ruang kuliah. Untuk fasilitas kamar mandi saja, jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa FIP dan itupun beberapa kamar mandi tidak berfungsi dengan semestinya. Contoh, kamar mandi lantai dua yang gentengnya bocor karena air resapan dari kamar mandi lantai tiga.
Menanggapi keluhan mahasiswa terhadap sarana dan prasarana yang belum ada tindak lanjut sampai sekarang, Kasubag Perlengkapan FIP Marhasan mengatakan bahwa keluh kesah itu sudah disampaikan ke Kabag Perlengkapan. Namun saat ini belum ditindak lanjuti mungkin karena belum ada anggaran untuk perbaikan sarana dan prasarana.
Perihal belum adanya anggaran mendapat anggukan pula dari Kabag Perengkapan FIP Eko Purwanto. Beliau mengatakan semua sarana prasarana yang rusak pada tahun ini harus menunggu anggaran perbaikan pada tahun yang akan datang. Sarana prasarana yang rusak tidak bisa diperbaiki secara langsung dan cepat karena berkaitan dengan anggaran. (Lip: Fitri Rahmawati, Hery Madkuri, Annisatul Fitriah)

DITIADAKANNYA PEMBANTU DEKAN III (PD III) FIP UNJ


Penulis: Dian Ayu Novalia
Ketua Umum Forum Idekita; Pendapat Pribadi


Pembantu Dekan III dipindah kerja. Bidang kemahasiswaan seolah tersingkirkan. Padahal 2011 saat pemberhentian menjadi PD III masih lama. Lalu, siapa penggantinya?


Pengangkatan pemimpin sedang marak terjadi. Sebut saja pengangkatan orang penting untuk negara tercinta Indonesia yaitu SBY dan Boediono. Universitas Negeri Jakarta pun mendapatkan Rektor baru walaupun dengan wajah lama yaitu Prof. Bedjo. Perhelatan perdebatan pun dilaksanakan sebelum pemilihan Rektor. Mahasiswa pun ikut serta melihat visi misi yang diusung oleh ketiganya. Tanya jawab secara langsung pun dapat dilakukan.

Berbeda dengan keberadaan salah satu pemimpin yang ada di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). Ketika banyak orang menginginkan untuk menjadi pemimpin agar dapat memberikan pelayanan dan mengabdi kepada rakyat, salah satu Pembantu Dekan FIP yaitu yang ada di bidang kemahasiswaan malah ditiadakan.

Jabatan PD III
Ketika ditemui diruangnya yang baru (29/10/09), Sumantri yang saat itu sudah tidak menjabat PD III FIP mengatakan bahwa ia tidak dapat memberikan keputusan atau tanda tangan apapun sejak tanggal 27 Oktober 2009. “Sehari sebelumnya saya diminta oleh Pak Dekan untuk memakai jas rapi untuk menghadiri pelantikan di gedung Rektorat,” kata beliau. Ketika di rektorat, ia pun dilantik untuk menjadi sekretaris pada PAUD Pascasarjana. Sebelumnya memang sudah ada pembicaraan antara beliau dengan Rektor UNJ mengenai hal ini. Beliaupun tidak dapat menolak setelah juga meminta pendapat dari Dekan FIP yang menjadi atasannya langsung.
Padahal amanah menjadi PD III masih sampai tahun 2011. Kegiatan di bidang kemahasiswaan seolah tidak sebanding dengan bidang akademik dan sarana prasarana. Padahal, FIP tidak dapat bergerak sendiri tanpa keaktifan organisasi mahasiswanya. Bila kegiatan mahasiswa mati, suram juga keadaan rumah FIP. Kebanggaan bukan hanya dapat diraih dari prestasi akademik mahasiswa. Tapi dapat pula dilihat dari kegiatan mahasiswanya.
Saat ini, jabatan PD III dirangkap oleh Yuliani selaku PD I FIP. Double job pun terjadi. Tugas menjadi PD I saja sudah banyak. Apalagi berkenaan dengan akademik. Hal inilah yang menjadi jantungnya Fakultas karena penilaian banyak diambil dari akademiknya. Seperti pemberdayaan dosen-dosen agar memberikan pembelajaran yang inovatif, meningkatkan prestasi mahasiswa dalam hal nilai kuliah, akreditasi dan sebagainya. Lalu, bagaimana aplikasinya dan keefektifannya bila merangkap pula menjadi PD III?
Opmawa di FIP ada 8 ditambah dengan BEM FIP dan BPM. Kemudian ormawa ada 4. sehingga semuanya ada 14. kegiatan dan progam kerja masing-masing ormawa dan opmawa tentu berbeda-beda serta waktunya. Bertemu untuk mendapatkan bimbingan dan masukan kepada PD III tentu memiliki intensitas yang cukup sering. Jelas, kesibukan menjadi PD I pun dapat menghambat kinerja mereka.

Sosialisasi Tidak Ada
Pemberhentian ini terkesan sangat mendadak. Apalagi Sumantri sampai saat ini belum menunjukkan gigi untuk berdialog dengan mahasiswa mengenai pindahnya ia ke Pascasarjana. Dekan FIP pun seolah diam saja dan berlaku sama. Padahal banyak hambatan yang ditemui oleh para mahasiswa ketika PD III dihilangkan.
Sementara itu, juga tidak ada kabar mengenai penggantian PD III yang baru. Ketidakjelasan merayapi tubuh FIP. Sangat dimungkinkan kefokusan PD I dapat mendua karena penambahan job. Tugas menjadi PD III bukan hal yang sepele. Dengan berdialog antar segenap warga FIP, baik pemimpin, dosen, dan mahasiswa tentunya akan membuka persepsi dan pencerahan. Meskipun penyamaan persepsi harusnya dilaksanakan sebelum tanggal 27 Oktober 2009 lalu.

DI BALIK LAYAR FILM 2012


Penulis: Fitri Rahmawati
(Psikologi Pendidikan FIP UNJ 2005)


Udah nonton 2012 belum? Spesial efeknya keren....pernyataan tersebut kini sering terdengar dari mulut teman-teman yang sudah menontonnya. Mereka rela berdesakan bahkan mengantri lama untuk membeli tiket film 2012. Film garapan hollywood ini mencetak rekor luar biasa karena dalam waktu tiga hari film ini baru diputar, sudah meraup untung sebesar $ 225 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun lebih.


Sebenarnya film ini sama seperti film-film lain yang menyajikan fenomena bencana alam. Sebut saja The Day After Tomorrow, Knowing, dan film lainnya yang banyak menarik perhatian masyarakat. Namun karena sang sutradara cerdas melihat isu yang sedang booming saat ini yakni kiamat pada 2012, maka banyak masyarakat berbondong-bondong ingin menonton film ini.
Ternyata diputarnya film 2012 ini tak hanya meraih perhatian dan keuntungan yang besar, namun juga kontroversi dari para ulama di Indonesia. Bagaimana tidak? Pemutaran film 2012 seakan-akan ingin mengkondisikan umat manusia untuk meyakini bahwa the end of time atau apocolypse bakal terjadi pada tanggal tertentu yang sudah bisa diprediksi, yaitu tanggal 21 desember tahun 2012. Ini merupakan suatu ramalan yang sangat berbahaya dari sudut pandang aqidah Islam. Dari jendela spiritualitas agama islam, kapan terjadinya kiamat menjadi rahasia Allah semata. Tak ada yang lain. Mengenai kapan terjadinya kiamat, manusia hanya diberitahukan tanda-tanda (sign) datangnya kiamat.
Saat ini perhatian masyarakat sedang disibukkan dengan isu kiamat yang akan terjadi pada tanggal 21 Desember 2012 menurut kalender suku maya. Anggapan tersebut membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai kondisi bumi saat terjadinya kiamat. Bahkan mungkin sebagian besar masyarakat kini tampaknya mulai ketakutan dengan prediksi kalender suku maya. Apalagi jika melihat fenomena bencana alam mengenaskan yang beberapa tahun belakangan ini frekuensinya semakin sering.
Film yang disutradari Roland Emmerich ini dapat dikatakan sebagai apresiasi rasa takut yang berlebihan terhadap prediksi hari kiamat. Adanya film ini semakin mempertegas garis ketakutan masyarakat terhadap ramalan yang belum tentu kebenarannya karena masyarakat cenderung mempercayai dan melahap informasi atau isu mentah-mentah yang saat ini marak diperbincangkan.
Jika dikritisi lebih tajam, film ini tak jauh dari penggambaran hancurnya dunia dengan berbagai bencana alam. Nalar logika ilmiah film ini begitu dangkal dan sentuhan religusitasnya yang sangat sangat kering, karena menuhankan ilmu pengetahuan dan kebodohan agama. Ditinjau dari segi psikologis, film yang berdurasi 158 menit ini sudah tentu mempengaruhi jiwa si penonton. Bagi masyarakat plegmatis, film ini dapat menguatkan rasa takut atau mungkin menanamkan rasa takut yang berlebihan. Hal tersebut dapat dikarenakan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap informasi yang didapat mengenai prediksi hari kiamat.
Kemungkinan yang dapat direka bahwa gejala paranoid dapat menghinggapi masyarakat yang menonton film 2012. Disadari atau tidak masyarakat yang menonton dimungkinkan bertambah ketakutannya. Ketakutan yang berlebihan dalam kamus psikologi biasa disebut paranoid. Paranoid adalah perasaan takut, cemas yang berlebihan terhadap sesuatu atau kondisi tertentu. Jelas, bahwa dibalik kesuksesan, film ini juga berdampak besar terhadap kondisi psikis masyarakat yang menontonnya.

DEGRADASI PEMILIHAN DEKAN FIP UNJ 2009-2013


Tahun 2009 ini nampaknya merupakan tahun dimana ketua atau pemimpin baru mulai bermunculan. Hajatan pemilihan pemimpin Mulai dari beberapa waktu lalu ada pemilihan legislatif. Kemudian disusul pada awal Juli 2009 lalu ada pemilihan presiden yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan diwakili oleh Boediono. Selanjutnya, seolah tidak mau ketinggalan momen, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta juga mengadakan pemiliham atau pergantian pimpinan.



Keanehannya adalah berita yang seharusnya menjadi headline ini ternyata masih kalah jauh dibandingkan dengan berita-berita lainnya, seperti gosip-gosip infotainment atau menjamurnya facebook belakangan ini, dan yang sedang santer yaitu berita kiamat 2012.
Terhitung sejak tanggal 22 April 2009 lalu, jurusan-jurusan di FIP mulai diberi panduan tentang tata cara pemilihan Dekan. Dosen-dosen yang berkompeten, ditunjuk menjadi perwakilan jurusan untuk menjadi bakal calon dekan. Tentu saja penunjukan ini bukan sembarangan, mengingat kedudukan sebagai Dekan itu mempunyai beban tersendiri, amanah besar. Diantara bakal calon tersebutlah nama Nurhartati dari Jurusan Manajeman Pendidikan, Robinson dari jurusan Teknologi Pendidikan, serta Karnadi sendiri yang sedang menjabat Dekan.
Namun, pada tanggal 15 Mei lalu ketika ditanya tentang kesediaan mereka untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon Dekan, mereka menyatakan ketidaksediannya dalam pencalonan Dekan tahun ini. Hingga akhirnya tinggallah Bapak Dr. Karnadi, M.Si yang menjadi calon Dekan FIP UNJ. Hasilnya, di FIP akan ada calon tunggal Dekan.
Ya, pemilihan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan ini hampir saja luput dari perhatian massa FIP. Bahkan ketika BEM FIP mangadakan polling masih ada beberapa mahasiswa FIP yang belum tahu siapa nama dekan FIP. Entah sedang terjadi apa di FIP ini, tapi yang jelas hal ini sangat disayangkan. Masa empat tahun yang telah diemban oleh Dekan kita ternyata belum mendapatkan apresiasi lebih dari mahasiswa.
Sebenarnya jika dikatakan pemilihan juga tidak. Karena calon Dekan yang ada di Fakultas Ilmu Pendidikan ini hanya satu yakni Karnadi. Fenomena ini jelas mengundang perhatian tersendiri mengingat FIP bukanlah Fakultas yang mempunyai dosen sedikit.

Alasan hanya 1 Pilihan Tunggal
”Saya menduga ini terkait dengan dukungan dari jurusan,” jelas Karnadi ketika ditanya mengenai fenomena ini. Beliau mengaku didukung oleh lima jurusan sementara calon-calon yang lain hanya satu-dua jurusan yang mendukung.
Sementara itu, tutur Robinson yang menjadi salah satu kandidat calon Dekan saat diwawancarai yaitu, ”Saya bukannnya mundur. Saya hanya merasa tidak mencalonkan diri sebagai dekan. Nama saya hanya diajukan sebagai perwakilan jurusan Teknologi Pendidikan. Mengapa saya tidak maju, itu karena saya merasa belum siap untuk menjadi dekan. Dan saya juga tidak pernah bermimipi untuk menjadi Dekan. Mimpi saya hanya menjadi dosen. Menjadi dosen saja sudah susah, apalagi kalau jadi Dekan? Pada saat pencalonan saya ditanya apakah saya bersedia menjadi Dekan atau tidak? Lalu saya jawab kalau saya belum siap. Sehingga tersisa calon tunggal untuk calon Dekan berikutnya.”
Dra. Nurhatatti, M. Pd yang menjadi salah satu calon Dekan pun mengatakan ketidaksediaannya. ”Saya tidak bersedia mencalonkan diri menjadi Dekan bukan mengundurkan diri,” kata beliau. Namun, Bu Hartatti menaruh harapan kepada Dekan terpilih nantinya yaitu lebih memperbaiki segenap kondisi internal FIP, bukan hanya yang di luar. Pemberdayaan dosen, perbaikan pembelajaran, kontrol pembelajaran dan mengembangkan budaya organisasi adalah empat hal yang perlu diperhatikan.
Salah satu dosen FIP pun memberikan pendapatnya mengenai hajatan pemilihan pemimpin FIP. Beliau berpendapat, bahwa percuma mengikuti pencalonan Dekan karena Dekan sekarang sudah mempunyai nama di saku bukan platform.Orang tidak akan memilih calon Dekan berdasarkan platform. Platform itu formalitas. Akan tetapi orang akan memilih Dekan dengan alasan sebagai berikut: pertama karena kedekatan anggota senat, Kedua untuk mengamankan kepentingan mereka.
Disini terlihat faktor enggan, karena apa gunanya didukung satu jurusan sementara lawan didukung oleh lebih sari satu jurusan serta alasan lainnya mengenai faktor kedekatan. Akan jadi sia-sia, sepertinya itulah yang menyebabkan dosen-dosen mundur dari pencalonan ini. Walaupun seharusnya apa salahnya mencoba mencalonkan diri. Prediksi menang kalah itu memang penting. Namun kalau presentasi program kerja untuk kebaikan FIP lebih unggul dan lebih mencerahkan, kemungkinan untuk dipilih tentu juga besar.
Tragedi 1 calon Dekan membuat kompetisi pemilihan Dekan menjadi kurang menarik. Karena tidak akan ada debat atau persaingan antar calon. Berbeda ketika pemilihan calon Rektor UNJ. Perdebatan terbuka pun dilakukan dengan promosi visi misi ketiga calon Rektor. Walaupun pemilihannya juga tertutup.

Konklusi
Jabatan Dekan adalah jabatan yang tidak dapat dikatakan enteng. Segala kegiatan Fakultas, kondisi dosen, pelayanan mahasiswa, fasilitas serta hal-hal sekecil apapun dipertanggungjawabkan oleh Dekan dalam Fakultas. Inilah tugas seorang Dekan Fakultas yang merupakan pemimpin utama dalam lingkup Fakultas. Lalu, dimana dosen-dosen FIP lainnya? Padahal jumlahnya banyak.
Tentunya harus memiliki visi yang mumpuni sehingga dapat dikoordinasikan kepada rekan kerjanya. Sinergitas pun akan tumbuh ketika program kerja jelas tersosialisasikan. Kekonkretan ide dalam program kerja harus tersosialisasikan kepada rekan-rekannya termasuk pada para mahasiswa yang tugasnya bukan hanya wajib belajar. Perhatian dan peduli dengan lingkungan sekitar termasuk mengetahui siapa pemimpinnya adalah hal penting. Keberadaan Dekan juga berkaitan terhadap belajar mahasiswa. Akan sangat aneh bila mahasiswa baru tahu nama Dekannya ketika minta tanda tangan skripsi. Jelas sangat terlambat. Untuk itu, saling menyapa penting dilakukan, baik dari pemimpin maupun dari mahasiswa.
Tahun 2005, Karnadi memberikan buku pedoman tentang program kerjanya untuk masa jabatan hingga 2009 dengan mengusung visinya yaitu FIP adalah RUMAH KITA (2005-2009). Namun, bagaimana program kerja untuk tahun 2009-2013? Visi ketika dialog yang telah dilakukan oleh bapak Karnadi adalah FIP, RUMAH KITA, RUMAH PEMBELAJARAN YANG INOVATIF. (2009-2013).Semoga tidak hanya menjadi wacana.
Untuk persyaratan calon Dekan, Dr. Karnadi, M.Si telah memenuhi syarat. Seperti penuturan mantan Dekan FIP yaitu Prof. Soegeng Santoso yang mengatakan syarat menjadi Dekan adalah umur tidak lebih dari 61 tahun, pangkat: lektor kepala, sehat jasmani dan rohani, diutamakan yang sudah gelar Dr., dan telah memenuhi persyaratan serta memenuhi prosedur.
Beliau pun menaruh harapan untuk Dekan baru yaitu yang baik dipertahankan, yang kurang baik seperti toilet, kebersihan, kesopanan diperbaiki serta keberadaan laboratorium ditingkatkan. Selain itu sebaiknya juga Dekan menghubungi senior-seniornya agar dapat memberikan masukan dan saran demi kebaikan FIP.
Dalam wawancara, beliau pun menanggapi pula mengenai keengganan beberapa calon dekan untuk dicalonkan. ”Harusnya jurusan mencalonkan calon yang bersedia, bukan yang tidak bersedia,” kata beliau. (Lip/Dian Ayu Novalia/Annisatul Fitriah)

*Berita mengenai calon dekan FIP sudah berlalu beberapa bulan yang lalu. Namun, berita ini penting bagi sivitas akademika yang belum tahu.

Kata Mereka

Kata Mereka tentang FIP




Janu pp 08
“Gw sih gak ada masalah sama fasilitas atau sarana yang ada disini, karena wajar aja kalau ada kekurangan, nanti ke depannya juga pasti akan ada perbaikan. Menurut gw, yang paling memprihatinkan di FIP itu ya kebersamaan mahasiswa yang bisa dibilang udah gak ada. Jangankan untuk yang sama-sama anak FIP untuk yang satu jurusan pun kadang-kadang gak kenal, parah banget kan?”


Rosalia MP 2005

“KAMAR mandinya kurang jadi susah kalo lagi kebelet, hehehe. Lalu apa lagi ya? Em em ….”




NN PAUD 2002

Menurut saya yang paling harus di benahi itu ya perpustakaan FIP yang gak mendukung proses pembelajaran. Misalnya waktu buka yang ngaret dan kalau tutup terlalu cepat. Padahal perpustakaan kan salah satu sumber belajar yang sangat diperlukan dan bermanfaat sekali.


NN TP 07

Udah bagus, tapi dibenerin lagi lah misalnya sarana komunikasi seperti telpon koin. Anjungan perlu ditambah biar pas isi KRS gak bejibun.



NN MP 06

Kaget gw, tiba-tiba PD III FIP dah gak ada. Dipindah ke Pascasarjana. Gw jadi harus ngulang bikin surat. Anehnya, kog gak ada omongan lebih dulu ya. Pak Sumantri juga adem-adem ayem aja. Ya…mungkin ada waktunya beliau dialog sama mahasiswa (tunggu aja tanggal mainnnya)

Senin, 16 November 2009

ORIENTASI ANGGOTA BARU (OAB) FORUM IDEKITA FIP UNJ 2009

MATERI:
- Filsafat untuk pemula
- Teknik menulis ilmiah
- Teknik reportase
- Berpikir kreatif + kritis
- Seni berbicara
- Psikologi Komunikasi

SYARAT:
1. Angkatan 2007-2009
2. Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ
3. Menulis esai tentang diri 1000 karakter
4. Mengisi formulir (ada di sekr.FIDE)

WAJIB BRIEFING TANGGAL 11 SEPTEMBER 2009 di FIDE
Tempat OAB: di Cisarua, 23-25 Oktober 2009

TEMPAT PENDAFTARAN:
sekr. Forum Idekita (FIDE) FIP UNJ
Ged.Daksinapati lt.1 Ruang 112, Rawamangun, Jakarta Timur
CP. 085719464985/085693213286

bedah film, diskusi menulis, pelatihan program kreativitas Mahasiswa (PKM)

Susunan Acara Kegiatan Pekan Idekita
Kamis-Minggu, 03-06 September 2009

Kamis, 03 September 2009
Bedah Film
14.30-14.40 Pembukaan
14.40-16.30 Nonton Bareng
16.30-17.45 Sharing MC
17.45 Penutup dan buka puasa bersama

Jumat, 04 September 2009
Diskusi “Seni Menulis”
15.30-15.40 Pembukaan
15.40-17.45 Materi Seni Menulis
Pembicara: Dian Ayu Novalia
17.45 Penutup dan buka puasa bersama

Sabtu, 05 September 2009
Pelatihan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
hari pertama
07.00-08.00 Registrasi
08.00-08.30 Pembukaan
Ketua Pelaksana : Fitri Rahmawati
Ketua Umum FIDE : Dian Ayu Novalia
Pembantu Dekan III FIP UNJ : Dr. M.S. Sumantri, M.Pd

08.30-10.00 Materi 1: Menggali Ide Kreatif
Pembicara: Muh. Ivan Azhari, S.Pd

10.00-12.00 Materi 2: Metodologi Penelitian
Pembicara: Drs. Herwanto, M.Psi

12.00-13.00 Istirahat dan Sholat

13.00-15.00 Materi 3: Bahasa Ilmiah
Pembicara: Krisanjaya, M.Hum

15.00-16.00 Mentoring

Minggu, 06 September 2009
Hari Kedua Pelatihan PKM
08.00-09.00 Mentoring

09.00-10.30 Materi 4: Teknik Presentasi Ilmiah
Pembicara: Nining Parlina

10.30-12.00 Materi 5: Dinamika Kelompok
Pembicara: Dian Ayu Novalia
12.00-13.00 Istirahat dan Sholat

13.00-14.30 Materi 6: Media Presentasi
Pembicara: Fitri Rahmawati

14.30-16.00 Mentoring

16.00-16.20 Pengumuman dan Penutup

Follow Up:
Kamis, 10 September 2009
Kamis, 17 September 2009

sekretariat Forum Idekita (FIDE) FIP UNJ
kampus A UNJ, Ged. Daksinapati, lantai 1, ruang 112, Rawamangun, Jakarta Timur
CP. 0856932132986/081319001994

Teacher Corner

”Menjadi Guru Kreatif dalam Segala Keterbatasan”
Minggu, 02 Agustus 2009
AULA Perpustakaan UNJ Lantai 1

07.00-08.00 Registrasi
08.00-08.30 Pembukaan
08.30-10.00 Materi I: Seminar Nasional Kreativitas Guru
Pembicara:
1. Prof. Dr. Sugeng Santoso (Juri Nasional Lomba Kreativitas Guru)
2. Baedhowi (Dirjen PMPTK)*
10.00-13.00 Materi II:Pelatihan Kreativitas
Pembicara: Rama Royani (Pakar Talent Mapping)
13.00-14.00 Ishoma, Games dan Doorprize
14.00-16.00 Materi III:
Bedah buku “Kenapa Guru Harus Kreatif?”(penerbit Mizan)
Pembicara : Andi Yudha Asfandiyar
Pembahas : Dr.M.S. Sumantri, M.Pd
16.00-16.30 Pengumuman Pemenang Lomba Esai “Solusi Mengatasi Permasalahan Guru
Honorer.”
16.00- Penutupan

Sekr. Panitia:
Forum Idekita Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta
Jl. Rawamangun Muka, Lobi Daksinapati Lt. 1 Ruang 112, 13220 JakTim,UNJ Kampus A
No. Telp: (021) 96755830/0856 93213286/0856 7699683
Blog: forum-idekita.blogspot.com

Semangat Ber-KKTM di FIP UNJ


07/05/09

Walaupun Dikti tidak lagi mengikutkan KKTM dalam Pimnas, namun Pembantu Dekan III FIP UNJ Dr. MS Sumantri tetap menyelenggarakannya. Atas dasar, bahwa FIP UNJ tidak hanya bergantung pada kompetisi yang diselenggarakan oleh Dikti. Niat baik ini setidaknya memberi angin segar bagi pengembangan kemandirian kompetisi di UNJ.
Tim juri yang terdiri dari Drs. Sarkadi, M.Si, Dr. Durotul Yatimah, M.Pd, dan Dr. MS Sumantri memilih juara sebagai berikut:
Juara I diraih oleh Dian Ayu Novalia (Psikologi Pendidikan 2005), Lina Febriyanti (Psikologi Pendidikan 2008), dan Duwi Nuryani (Psikologi 2008) dengan judul karya tulis "Penerapan Permainan Peta Lintas Indonesia sebagai Media Pembelajaran pada Mata Pelajaran IPS Terpadu dalam Mengembangkan Pendidikan Multikultural di SMP". Untuk juara II diraih oleh Nining Parlina (Psikologi Pendidikan 2005), Anisatul Fitriah (Pendidikan Luar Sekolah 2007), dan Riana Sita Puspaningsih (Psikologi 2008) dengan judul "Evaluasi Penyelenggaraan Sertifikasi Guru".

Semoga karya-karya yang sudah dibuat dapat berguna bagi pengembangan praksis ilmu pendidikan di Indonesia. Amin....

HADIRILAH LAB PENULISAN FORUM IDEKITA

07/05/09

Kegiatan ini Khusus Mahasiswa FIP

"Membaca Hati, Memanusiakan Pikiran"

Materi:
1. Personality Development dilihat dari Perspektif Filsafat Manusia
(Nining Parlina)
2. Menulis dan Eksistensi
(Dian Ayu Novalia)
3. Aktualisasi Menulis
(Fitri Rahmawati)
4. Rahasia Menulis Inspiratif
(Muh Ivan Azhari)

Pkl 08.00-17.00 WIB
Sabtu, 16 Mei 2009
Gedung CD UNJ

Biaya Rp. 15.000/org
(Terbatas hanya untuk 50 orang)

Pendaftaran sebelum Hari H
di Sekretariat Forum Idekita
Ruang 112 Gd Daksinapati (sebelah TPA)
Universitas Negeri Jakarta

Mawapres FIP 2009

07/05/09

Forum Idekita mengucapkan selamat kepada pemenang Mawapres FIP UNJ:
Anita B Simamora sebagai Juara I
Dian Ayu Novalia sebagai Juara II
Zaki Walad sebagai Juara III
Hery Madkuri sebagai Juara harapan I

Tetap Berkarya!!!

UNJ LOLOS 62 PROPOSAL

Berita bahagia
Berita gembira

UNJ LOLOS 62 PROPOSAL
MAHASISWA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN SENDIRI LOLOS
25 PROPOSAL

UNTUK DIKETAHUI UNJ SEJAK
TAHUN 2007 : 6 PKM
TAHUN 2008 : 14 PKM
TAHUN 2009 : 62 PKM

KKTM JUGA BERUBAH JADI PKM GT
ENTAH MENGAPA? KENAPA? ADA APA?
NAMUN TETAPLAH BERKARYA

UCAPAN SELAMAT UNTUK KAWAN-KAWAN UNIVERSITAS LAINNYA
YANG LOLOS PKM UNTUK DIDANAI
SEMOGA INDONESIA LEBIH SEJAHTERA
DENGAN BANYAKNYA KARYA MAHASISWA
YANG JUGA BERDAMPAK RIIL UNTUK MASYARAKAT

BRAVO MAHASISWA INDONESIA!
MARI BERKARYA,
JANGAN HANYA PANDAI BERKATA-KATA

JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN, "JURUSAN COBA-COBA" (Tanggapan Pada Surat Pembaca Majalah Didaktika)

14/02/09

Secara substantif, jelas dan singkat keluhan tersebut sudah sama-sama kita baca dalam “DIDAKTIKA“ edisi no.35/th.XXXV/2008 hal.5.
Keluhan ini timbul sebagai dampak dan risiko perubahan IKIP menjadi Universitas yang sejak awal dipicu oleh kebijakan dan program yang keliru (misleading) dalam memandang IKIP sebagai sebuah LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan).
Kebijakan itu disebut sebagai kebijakan yang keliru dan timbul oleh profesionalisme dan persepsi yang lemah dan dangkal dalam memandang fungsi dan status Guru dalam masyarakat. Lebih celaka lagi kebijakan itu ditetapkan dan diberlakukan oleh mereka-mereka yang sama sekali tidak dididik, dibina dan dikembangkan dalam profesi keguruan dan pendidikan. Jadi hakikatnya mereka manusia awam yang sama sekali tidak professional dalam bidang yang mereka tetapkan kebijakannya. Sifat awam mereka ditandai dengan hal-hal sebagai berikut :

1). Mereka asing sama sekali tentang fungsi guru baik secara pribadi dan sosial. Mereka tak pernah tahu bahwa dalam masyarakat Indonesia urutan fungsi dan status guru dinyatakan dalam ungkapan klasik : ”guru, pandito, ratu, wong atuo karo”. Artinya masyarakat Indonesia secara tradisional memandang gurulah yang pertama, kedua : pendeta, kyai ; ketiga : pemerintah (ratu, Indonesia sering diperintah oleh raja-raja perempuan : Ratu Shima, Ratu Baka (saat kerajaan Hindu dan Budha berkembang di Jawa Tengah abad ke empat sampai abad ke sembilan), Tribuana Tunggadewi = ibu Hayam Wuruk = era Majapahit); keempat : orang tua; dan kelima : maratua = mertua.

Karena perubahan social ekonomi, politik, cultural yang berlangsung dari masa penjajahan dan bahkan pasca Proklamasi Kemerdekaan, ungkapan tersebut mengalami perubahan menjadi : Ratu, maratua, wong atua, pendeta dan baru guru. Artinya guru secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar dimarginalkan dalam posisi yang paling rendah. Alasannya jelas karena posisi, status dan fungsi guru memang secara materiel termasuk kelas berpenghasilan rendah, kelompok tak berpunya, miskin dan karenanya dalam masyarakat yang makin memuja materi dan kekuasaan seperti yang terjadi sekarang ini, maka memang status dan fungsi guru dipandang rendah !!!

2). Tenggelam dalam perubahan paradigma status guru di atas, mereka menjadi keliru dalam memandang status IKIP /LPTK hanya sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan orang-orang yang pasti rendah baik dalam fungsi dan statusnya dalam masyarakat. Mereka menjadi resah, gelisah bahkan malu akan keberadaan IKIP/LPTK!!! Dalam situasi demikian muncullah “ide gila” yang ingin menyeragamkan semua lembaga pendidikan Tinggi (IKIP/LPTK) menjadi satu bentuk yang secara acak diseragamkan dan disebuat UNIVERSITAS. Maka berubahlah semua IKIP/LPTK di Indonesia menjadi sbb:
• Unimed (Universitas Negeri Medan) di Medan;
• Unipa (Universitas Negeri Padang);
• UNJ (Univesritas Negeri Jakarta);
• Unes (Universitas Negeri Semarang);
• UNY (universitas Negeri Yogyakarta)
• Unima (Universitas Neger Malang);
• UNM (Universitas Negeri Makasar)
• UNIMA (Universitas Negeri Manado) di Tondano.

3). Sejak awal perkembangannya Universitas-universitas Negeri baru sebagai transformasi dari bentuk IKIP/LPTK mengalami dilema berkepanjangan. ”Wider mandate” yang seharusnya mensejajarkan fungsi universitas ini sekaligus sebagai LPTK, ternyata hanya “sebuah wacana di atas kertas”. Di kalangan kebanyakan sivitas-akademikanya sendiri (karena masih memandang dan bersikap status dan fungsi guru itu rendah di mata mereka) maka terdapat kecendrungan yang kuat untuk lebih mengembangkan ilmu-ilmu murni yang “non kependidikan”. Namun penguasaan mereka akan disiplin ilmu murni yang lemah, menyebabkan kemampuan mengembangkan ilmu-ilmu murni itu hakikatnya “masih harus belajar lagi dari awal”. Maka berkembanglah ungkapan yang memprihatinkan dalam proses penerapan “wider mandate” ialah timbulnya situasi, realita, dan ungkapan yang selalu ingin ditutup-tutupi ialah: ”mendidik guru malu, mengembangkan ilmu murni tak mampu”. Hal ini terjadi di hampir semua Universitas-Universitas Negeri yang awalnya berbentuk IKIP/LPTK. Contoh yang nyata-nyata realita ini adalah apa yang terjadi pada perubahan Jurusan Psikologi Pendidikan menjadi Jurusan Psikologi, yang oleh mahasiswanya disebut sebagai “Jurusan Coba-Coba”.

4). Secara ilmiah objektif munculnya “Jurusan Coba-Coba” itu sama sekali melanggar kaidah-kaidah keilmuan dalam tiga hal:
(a). Kerancuan penyamaan Disiplin Ilmu Psikologi Pendidikan yang diperlakukan sama dan identik dengan Ilmu Psikologi. Ilmu Psikologi Pendidikan adalah bagaimana penerapan ilmu psikologi dalam “setting dan proses-proses pendidikan”. Sedangkan Ilmu Psikologi adalah disiplin ilmu yang mengakji dan mengembangkan proses-proses kejiwaan dalam diri manusia baik secara pribadi (individual) maupun social.

(b). Kerancuan dalam proses pembentukannya. Semua para akademisi dan intelektual di bidang ilmu-ilmu pendidikan tahu bahwa setiap bentukan baru lembaga pendidikan (baik universitas, Perguruan Tinggi, Sekolah Tinggi Fakultas, Jurusan berikut kurikulumnya) harus berawal dari penilaian kebutuhan pendidikan/ latihan (“needs assessment education and training”). Penilaian kebutuhan ini dilakukan melalui survai lapangan dengan melibatkan semua unsur yang berkepentingan dengan rencana pembentukan kelembagaan pendidikan itu. Mereka–mereka adalah meliputi : stackeholders (mahasiswa, orang tua, masyarakat), para lembaga yang berpotensi menjadi pemakai lulusan lembaga pendidikan yang dirancang pembentukannya (users), para akademisi di bidang ilmu yang menjadi disiplin utama lembaga pendidikan yang akan dibentuk.

(c). Kerancuan dan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah keilmuan
(i). Apakah perubahan “jurusan coba-coba” itu sesuai dengan realita kebutuhan dan bukan karena emosi/perasaan seseorang atau kelompok dalam FIP UNJ?
(ii). Apakah perubahan “jurusan coba-coba” itu memenuhi logika, akal sehat/ rasional yang menjadi kebutuhan nyata di lapangan? Mengapa Jurusan Psikologi Pendidikan harus dihapuskan dan digantikan dengan Jurusan Psikologi ? Inilah salah satu bukti tidak dipahaminya prinsip “wider mandate” bahkan dikalangan para dosen-dosen sendiri!!!

(iii). Apakah perubahan “jurusan coba-coba” itu secara objektif memang sudah dibutuhkan ? Kalau dibutuhkan mengapa Jurusan Psikologi Pendidikan yang merupakan bagian dari kelanjutan institusi LPTK harus dihapuskan ?

(iv). Apakah ada rujukan/referensi bahwa pembentukan Jurusan Psikologi dalam Universitas yang melakukan fungsi-fungsi “wider mandate” mengharuskan peniadaan Jurusan Psikologi Pendidikan ?

(v). Apakah dalam dunia ilmiah ada pengalaman nyata bahwa pembentukan satu jurusan (coba-coba) harus menghilangkan jurusan lainnya yang secara fungsional masih diperlukan terutama dalam pelaksanaan prinsip dan misi “wider mandate”?

(vi). Apakah pembentukan “jurusan coba-coba” benar-benar telah dilakukan secara sistematik dan metodologik sehingga tidak menimbulkan kerancuan, anomaly, keheranan dan penyimpangan azas-azas keilmuan ?


Kesemuanya yang kami uraikan di atas adalah drama yang memprihatikan dan terjadi pada semua Universitas mantan IKIP. Bukan hanya terjadi pada FIP tetapi juga pada fakultas-fakultas lain, dan bukan juga hanya terjadi di UNJ tapi juga di universitas lain mantan IKIP.
Terdapat banyak kelemahan dalam proses transformasi IKIP menjadi Universitas :
(1). Proses sosialisasi yang langka dan tak terprogram kepada public bahkan kepada sivitas akademikanya sendiri.
(2). Manajemen masih berlangsung secara “business as usual” sehingga penataan dan penerapan misi “wider mandate” sangat diabaikan.
(3). Paradigma lama tentang universitas masih merajai kehidupan di kampus, sehingga baik kurikulum, pendekatan belajar (yang seharusnya “student centre”, dosen-dosen masih tetap memuja “teacher centre”), metode belajar, proses belajar mengajar, penilaian belajar, juga masih berlangsung secara “business as usual”.
(4) Life skill di kalangan sivitas akademika masih sangat memprihatinkan sehingga a.l hasrat ingin tahu (curiousity), minat baca; kemampuan berpikir yang lebih tinggi (higher order thingking), pola pikir (mind set) belum sesuai dengan yang diharapkan.
(5). Langkanya forum-forum ilmiah di kampus yang berdampak tidak terjadi perkembangan apapun dalam nilai tambah pada bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Dampak dari kesemuanya di atas adalah munculnya ungkapan bahwa Universitas itu mahal dan tidak bermutu !!!!

Jakarta, Cilandak-Barat, 17 Oktober 2008.
IMAM CHOURMAIN-PPS UNJ

PLAN EDUCATION 2009

07/02/09


1. SEMINAR DAN PELATIHAN GURU


SEMINAR PENDIDIKAN NASIONAL

Topik:
"NASIB DUNIA PENDIDIKAN PASCA PEMILU 2009
"

Pembicara:
Prof. DR. Soedijarto (ketua ISPI dan Guru Besar UNJ)
Suparman (ketua FGII)
Heri Akhmadi (Komisi X DPR RI)

Moderator :
Sri Yuliyanti (Education Forum)

PELATIHAN GURU

Topik:
"Membangun Karakter dan Profesionalitas Guru"

Pembicara:
Prof.DR. Arif Rahman (Guru Besar UNJ)

Waktu dan Tempat:
Sabtu, 21 Maret 2009
Perpustakaan Pusat UNJ
Kampus A Universitas Negeri Jakarta

Biaya Seminar dan Pelatihan:
Rp. 100.000 (Mahasiswa)
Rp. 150.000 (Guru)
Rp. 200.000 (umum)

2. Seminar Parenting Education


Topik:
"Mengembalikan Peran Vital Orang Tua dalam Pendidikan Anak"


Pembicara:
Lara Fridani, M.Pscyh
Evita Adnan, M.Psi
Ayah Edy

Waktu dan Tempat:
Minggu, 22 Maret 2009
Perpustakaan Pusat UNJ
Kampus A Universitas Negeri Jakarta


Biaya:
Mahasiswa (30.000)
Umum (50.000)

3. Lomba Mengarang Bebas


"ANDAIKAN AKU JADI PRESIDEN"

Persyaratan:
1. Siswa Kelas Tinggi
2. Membawa papan berjalan

Waktu dan Tempat:
pKL. 08.00-15.00 WIB
Kamis, 19 Maret 2009
Kampus Halimun
Universitas Negeri Jakarta

Biaya: 25.000

INFO DAN PENDAFTARAN
SEKR. FORUM IDEKITA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
JL. RAWAMANGUN MUKA, GD DAKSINAPATI, LT 1, RUANG 112, JAKARTA TIMUR
TELP: 021 9675 5830/0856 9321 3286


NB: -PENDAFTARAN H-3
-Tempat sangat terbatas (maks. 300 peserta)

IRONI UNJ BERBUDAYA WIRAUSAHA

02/02/09

oleh\ muh ivan azhari

Seolah kita adalah objek, dan mereka adalah subjek. Kontraproduktif mahasiswa sebagai agent of social change haruskah terkebiri dengan proyek besar bernama UNJ-BW? Suasana pelatihan Kewirausahaan di Lembang, Bandung dari 31 Juli-2 Agustus mengirim aroma tak sedap terutama bagi sebagian kalangan yang merasa UNJ-BW tak lebih dari sekadar menakar pendidikan dengan ukuran kapitalisme yang notabene sebagai prasyarat mendukung kapitalisasi dunia pendidikan.

Perguruan Tinggi adalah tren-setter produk pembangunan masyarakat. Apapun bentuk produknya, selayaknya bukan sekadar menghidupkan gaya hidup konsumtif tetapi pula memanusiakan manusia dalam konteks yang utuh, holistik, dan menyeluruh. Terkait dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), apalagi dengan diterapkannya UNJ-BW makin mengeskalasi bahwa brand UNJ akan bergeser dari keguruan menjadi “industri” pendidikan. Pendidikan akan menjadi komoditas yang selanjutnya mengubah UNJ menjadi kampus yang berhasil dikapitalisasikan.

UNJ nyata-nyata belum membenturkan sense of crises terhadap dunia pendidikan yang makin terpinggirkan. Entahlah apakah semakin hilang atau pupus kebanggaan sebagai orang pendidikan. Yang pasti, biaya tinggi akan menguras kantong pendapatan orang tua, tanpa adanya upaya keras bagaimana meminimalisir biaya dengan cara-cara yang lebih elegan, kreatif, dan tentunya, tak menguras air mata penderitaan bagi mahasiswa miskin. Atau mungkin, networking yang dijalin oleh UNJ dengan “kabinet” pasca Sutjipto terus-terusan masih belajar beradaptasi. Sampai titik ini, kita terlupa bahwa jalan panjang menuju jiwa wirausaha mesti dimulai dari sejauh apa dan mana jiwa wirausaha itu terinternalisasi di tubuh birokrat sendiri. Mungkin kita pula harus bertanya background dari tim UNJ-BW sendiri?

Orang menyangka bahwa kapitalisme ada mitos. Salah satu mitos, dalam artian, kita bisa percaya, bisa juga tidak, adalah orang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan semakin miskin. Kenyataan ini bukan mitos lagi, ada dimana-mana baik di kota atau di desa. Memang lingkup kapitalisme tak cukup menaklukan tesis bahwa problematikan di UNJ bisa diselesaikan dengan UNJ-BW. Karena di tingkatan nasional, pemerintah juga belum bisa berbuat banyak, terlebih dengan akan diundangkannya Badan Hukum Pendidikan. Tentu saja, konsesus politik yang demikian telah membawa kekalutan di sebagai PTN yang selama ini hidup dari subsidi. Maka, proyek besar ini akan secara berkelanjutan dan terus-menerus mau tidak mau harus diterapkan, utamanya di jurusan. Akankah konsep ini berlawanan Tri Dharma Perguruan Tinggi bahkan Pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa? Kalaulah mau bermain di zona aman, maka menjadi kaum masochist (kenikmatan dalam penderitaan) adalah sebuah pilihan.

Ternyata berjiwa besar tak cukup, kita perlu berpikir besar, visible, dan jernih. Namun kalau sudah menyangkut penderitaan, akankah ada kesenangan di dalamnya? Pemikiran dari berbagai sudut pandang kiranya perlu menjadi wawasan tersendiri dalam mengemudikan UNJ di masa mendatang. UNJ-BW hanya sekadar nama, belum tentu sistem yang bermain di dalamnya sesuai dengan nalar khas setiap jurusan. Penting pula untuk membicarakan transformasi kualitas tenaga pengajar atau dosen yang akan lebih banyak berperan dalam menjalankan sistem ini. Bertahun-tahun kuliah, kita lebih senang mendapat nilai IPK tinggi daripada bertanya mau apa setelah lulus. Dekadensi cara berpikir ternyata berpengaruh besar terhadap mahasiswa. Kita ini adalah calon-calon penganggur yang kalau pandai berimprovisasi dan hanya mau tahu tentang jurusannya tanpa tahu bidang yang lain, maka dapat dikatakan bahwa gejala “fah idiot” yang berarti kita mengerti kayu, tetapi tak menguasai dan mengenal hutan. Inilah kiranya Tilaar menginginkan sebuah manifesto pendidikan nasional.

UNJ, yang jaraknya hanya 11 km dari Istana Negara semestinya bisa berperan lebih besar untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan problematika pendidikan. Siapapun menterinya, UNJ mesti punya ciri khas yang mengakar bukan hanya di tataran birokrat namun juga merumput. Dengan begitu, UNJ dapat menjadi cerminan bahwa orang-orang pendidikan tak hanya kreatif menyelenggarakan pendidikan biaya mahal. Kiranya, kita perlu bercermin bahwa banyak mahasiswa lebih memih PTS bukan lagi karena soal biaya, tetapi lebih pada kualitas dan manajemen serta integritas antara kata dan perbuatan, antara wacana dan aksi. Peran alumni dalam hal ini sangat berperan, sejauh mana alumni UNJ atau IKIP Jakarta itu bisa mempromosikan UNJ? Sudahkah optimal peran mereka?

Agar tak terjadi ketimpangan di kemudian hari, maka diskusi tentang wirausaha yang diadakan Tim UNJ-BW tak perlu khawatir, takut, dan anti-kritik terhadap wacana yang dikembangkan mahasiswa. Artinya, kesadaran kritis-objektif yang diwacanakan dapat dijawab secara professional oleh Tim UNJ-BW. Walau toh nyatanya, dalam pelatihan di Lembang lalu, tak ada forum tanya jawab, wajar jika sebagian mahasiswa kalut, kesal, dan kecewa. Wirausaha bukan hanya menjual, tetapi juga kritis terhadap produk apa yang sesuai atau tidak sesuai dengan brand UNJ. Bijaknya, menyediakan forum diskusi sebagai bentuk dialektika antar senior-junior, birokrat-awam, dan dosen-mahasiswa akan semakin memancing rasa penasaran, tanggung jawab moral, dan integritas yang sudah dibangun terlebih bagi Tim UNJ-BW sendiri.

Akhir kata, UNJ-BW bisa dikatakan sekadar simbol untuk menutup pola konvensional yang sayangnya belum ada manajemen yang mumpuni, jangan bertanya internalisasi, untuk sekadar sosialisasi saja masih diragukan. Kita juga perlu bertanya lagi mengenai nilai-nilai apa yang sudah terkonsolidasi dalam ruang UNJ sendiri. Kalau transisi menuju UNJ-BW saja dilegalkan dengan mematikan peran dialektika, maka hegemoni keordean birokrasi kita hanya bisa massif mempromosikan UNJ, tetapi lupa untuk mengakarkan benih-benih “pendidikan” apa yang sebenarnya hendak kita “ekspor” ke luar? Inilah pertanyaan yang akan tumbang bila kita mau mewacanakannya ini tidak secara linier, tetapi melingkar, holistik, dan menyeluruh.

BHP dan Daya Jual PT

Oleh : Dian Ayu Novalia

31/01/09

Hingar bingar UU Badan Hukum Pendidikan memadati pikiran dan tenaga sebagian orang, baik para perancang UU BHP ataupun penolakan beberapa orang atau sekelompok orang. Jelas, menguras tenaga, pikiran serta finansial ketika UU BHP ini diestimasi final tahun 2009 mendatang. Para perancang sibuk merumuskan sedangkan para pemerhati sibuk menolak.

Problem pendidikan seolah seperti permen karet yang tak pernah habis dikunyah. Pernak-pernik kerunyamannya kian menghiasi wajah pendidikan yang terus menampakkan kemuraman rautnya.

Ranah edukasi memang tak bosan-bosannya mengalami keresahan, baik dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Khususnya di pendidikan tinggi (PT), di wadah inilah para calon pengganti pemimpin bangsa (intelektual-intelektual muda) akan berkembang dan berkarya. Lepas dari baju siswa ke posisi yang lebih tinggi membuat mereka harus bekerja keras dengan adaptasi dan beraksi. Adaptasi pemikiran, sikap dan perilaku harus disertai tindakan (aksi) cermin mahasiswa.

UU BHP sedang menjadi hot news. Tak dipungkiri, kecemasan pun tengah menghimpit paru-paru dunia PT Indonesia. Berbagai gejolak sempat beberapa kali terhembus, baik dari kalangan mahasiswa dan dosen. Segelintir mahasiswa tengah meneriakkan kontra BHP. Beberapa aspirasi tolak BHP ini pun membanjiri tembok-tembok dan buletin-buletin atau pun essay-essay lepas sampai aksi di depan gedung rektorat. Beberapa dosen yang dapat dihitung jari pun ikut bersuara walaupun hanya melalui tulisan. Pendidikan mahal jelas menjadi alasan penolakan BHP. Butir-butir dalam UU BHP seharusnya mengandung unsur keadilan, pemerataan dan kemanusiaan. Bukan malah meminggirkan rakyat miskin dengan mengusung dialektika demi kemandirian satuan pendidikan.

Bila UI, UGM, ITB dan IPB dapat dikatakan mampu secara finansial dengan berbagai pungutan mahal ataupun mengkomersialisasikan produk-produk kampus. Apakah semua Perguruan Tinggi dapat disamaratakan? Sedangkan dapat digeneralisasikan bahwa sebagian besar mahasiswa yang masuk kampus negeri sekarang ini karena secara finansial lebih murah.

Sementara itu, penelitian-penelitian yang dapat dikatakan bisa dijadikan jalan pun kembang kempis. Penelitian yang menggandeng mahasiswa pun terkesan mahasiswa hanya sebagai robot. Entah pembelajaran atau sekadar pendapatan yang diperoleh. Bahkan beberapa skripsi pun dibuat hanya untuk sekadar lulus. Bisa dilihat hak paten UNJ tiap tahunnya, nihil. Padahal dengan mengedepankan karya-karya kreatif dan inovatif mahasiswa atau dosen dari hasil penelitian, dapat dijadikan sumber kuat PT, baik bila BHP sah ataupun tidak.

Strategi masuknya BHP seharusnya sudah dipikirkan dengan matang oleh jurusan-jurusan di tiap fakultas. Jurusan atau fakultas dapat berdialog untuk memikirkan nasib mereka selanjutnya. Kesinergisan pun berpeluang untuk merumuskan berbagai alternatif solusi mengenai BHP.

Di samping terus berkoar-koar untuk tolak BHP, lebih bijak bila PT sendiri sedia payung sebelum hujan BHP mulai terimplementasi secara nyata nantinya Langkah-langkah apa yang harus dipersiapkan? Apa yang dapat dijual di masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga tidak harus menaikkan SPP mahasiswa? Faktanya, di perguruan tinggi, tak semua produk inovatif dapat dikomersialisasikan. Parker dan Mainelli (2001) mencatat bahwa dari 100 ide penelitian di perguruan tinggi Amerika saja hanya 10 yang kemudian direalisasikan dalam proyek penelitian. Dari ke-sepuluh proyek ini hanya dua yang dinilai memiliki potensi komersial dan hanya satu dari keduanya yang kemudian benar-benar menguntungkan. Bagaimana dengan Indonesia? Jangan-jangan UU BHP ini hanya bagian untuk membuat pendidikan sebagai proyek peradaban (makin) terbengkalai saja. Semoga tidak!

Adopsi Kebijakan BHP Yang Salah Kaprah

Oleh : Nining Parlina

31/01/09

Persoalan BHP adalah sebuah persoalan yang sebelumnya sudah menjadi polemik tersendiri di perguruan tinggi. Adanya BHP, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tak lagi menjadi katup penyelamat bagi anak-anak bangsa yang dapat membawa perubahan bagi bangsanya sendiri. Antara pemerintah dengan masyarakat belum ada garis kesepahaman yang sama mengenai pemerataan pendidikan.

Pasalnya, semenjak ada BHMN/BHP di PTN, kini privatisasi pendidikan makin menjadi-jadi. Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan makin liar. Tidak sedikit beberapa PTN-BHP berinvestasi dana melalui penawaran paket emas (golden packet) untuk biaya masuk PT.

Kisaran nominalnya pun tidak kalah dengan PTS, yakni sekitar 100 juta. Padahal kalau kita bandingkan dengan biaya kuliah PTN di Jepang, yang tuition fee-nya berkisar 260 ribu Yen, di Singapura yang tuition fee nya berkisar 9.540-27.350 dollar Singapura atau di Malaysia, Universitas Kebangsaan Malaysia, yang memasang biaya 1.167 ringgit Malaysia hingga 1.500 ringgit Malaysia. Rasanya dengan biaya masuk 100 juta, bukan merupakan biaya yang ideal. Sebab, tingkat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia jauh di bawah negara-negara tersebut.

Studi Banding
Sebagai perbandingan Universitas Harvard misalnya, memiliki dana abadi sekitar $29.2 milyar, MIT memiliki dana abadi lebih dari $8.5 milyar dan Universitas Yale telah berhasil meningkatkan dana abadinya menjadi sebesar $18 milyar. Sementara Universitas Cambridge memiliki endowment fund sekitar £4.1 milyar, sedikit lebih besar dari Universitas Oxford. Dana abadi inilah yang kemudian digulirkan oleh universitas tadi dalam bentuk investasi-investasi yang keuntungannya dipergunakan untuk mendanai berbagai aktifitas riset dan belajar mengajar di perguruan tinggi. Baik itu investasi yang bersentuhan dengan bisnis berbasis inovasi teknologi maupun investasi lainnya. Dan pada akhirnya mampu mengurangi ketergantungan mereka pada dana dari anggaran negara dan pengguna jasa pendidikan tinggi.

Persoalannya jika dihubungkan langsung dengan PT di Indonesia sendiri, adakah dana abadi untuk modal dan fasilitas riset sebelum diprivatisasi? Kalaupun ada, apakah dana abadi tersebut cukup untuk menjadi modal awal penopang aktivitas riset penelitian kampus? Sedangkan kalau dievaluasi pengeluaran dana untuk bidang penalaran/penelitian saja masih tersendat-sendat. Apalagi penyediaan fasilitas riset yang berteknologi dan tepat guna. Kalau di Filipina, alat-alat riset yang mahal didapat dari DOST (dept of science and technology) meskipun itu perguruan tinggi swasta. Terlepas dari modelnya dengan riset bersama atau riset pesenan pemerintah. Sedangkan di Amerika, ada yang dapat DOE (dept of energy) grant dan lain-lain untuk penelitian. Dan di China juga ada semacam itu.

Akhir kata, keberadaan UU BHP perlu dipikirkan kembali. Mengingat perangkat atau modal sosial atau jejaring ekonomi masyarakat kita juga belum siap untuk diberi pendidikan mahal. Jangan sampai kita terlambat dalam mempersiapkan ini semua. Seperti sebuah ungkapan ”gagal merencanakan berarti merencanakan gagal”, gagal pendidikan berarti gagal menjadikan pendidikan sebagai proyek peradaban untuk Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Mengasah Nalar di PGTK





31 Januari 2009


”Pelatihan ini merupakan persiapan menuju Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2009” ujar Yulianto, ketua pelaksana pelatihan penulisan KKTM dan PKM.


Matahari sabtu pagi menggiring semangat 43 mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menuju ruang sidang Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak (PGTK) UNJ. Upaya itu untuk kegiatan yang mereka sebut sebagai Pelatihan Penulisan Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) dan Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM). Kegiatan khusus mahasiswa FIP UNJ itu diadakan di kampus D UNJ berlangsung pada 10 dan 11 Januari 2009, sejak pukul 08.00 pagi hingga 05.00 sore.

Pelatihan tersebut diadakan oleh Unit Penalaran (UP) FIP, Forum IDEKITA (FIDE), ”Pelatihan ini merupakan persiapan menuju Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2009” ujar Yulianto, ketua pelaksana pelatihan penulisan KKTM dan PKM. Menurut Nova, steering comitee (SC) Pelatihan penulisan KKTM dan PKM, pelatihan ini merupakan wujud kepedulian FIDE dalam dunia penalaran, selain itu untuk menyeleksi karya tulis yang akan dikompetisikan di PIMNAS 2009

Tahun 2008 lalu, sebut Nining, ketua FIDE, pelatihan serupa disebut Art of Creative Thingking and Writing (ACTHING). Partnership Forum FIDE, Muh. Ivan Azhari mengatakan, pelatihan KKTM dan PKM ini telah berlangsung 4 (empat) kali semenjak Maret 2005.

Pada pelatihan itu, FIDE menghadirkan 6 (enam) orang pembicara. Muh. Ivan Azhari membawakan materi Menulis Kreatif dan Wahyu Sri Ambar Arum, Metodologi Penelitian. Dosen FIP PP UNJ, Evita Adnan untuk materi Kompleksitas Ide dan Gumgum Gumelar dinamika kelompok. Materi Public Speaking, Media dan Tekhnik Presentasi dibawakan oleh Nining Parlina dan Nova.

Kegiatan tersebut diawali dengan laporan dari ketua pelaksana Pelatihan KKTM dan PKM 2009. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan Ketua Umum FIDE, Nining Parlina lalu Pembantu Dekan (PD) III FIP UNJ, M. S. Soemantri. Tiga ketukan jari di kepala microphone nirkabel membuka pelatihan itu.

Hari pertama dimulai dengan materi Menulis Kreatif. Ujar alumni PLS 2002 FIP UNJ, ”Berpikir kreatif itu terkait dengan pola pikir kita.” Pada materi itu, Raja Buku Nasional tahun 2005, juga melakukan simulasi penulisan dan motivasi menulis. Acara kemudian dilanjutkan oleh Wahyu yang membawakan materi Metodologi Penelitian. Dosen MP FIP itu menekankan, sebelum melakukan penelitian kita harus menemukan permasalahan.

Pada 11 Januari 2009, materi kompleksitas ide mengawali hari kedua. Evita Adnan selaku pembicara menyampaikan, upaya untuk mendapatkan ide dimulai dari person, proses dan produk. Proses bisa dimulai dari membaca, mencoba, mendengar dan merenung. Materi dilanjutkan oleh Gumgum Gumelar, ”Forming, storming, norming dan performing merupakan dinamika kelompok, storming merupakan fase yang terberat,”

Di dalam rangkaian pelatihan itu juga terdapat ice breaker (permainan singkat), mentoring pada setiap kelompok, simulasi penulisan dan pelatihan motivasi. Pelatihan penulisan itu ditutup pukul 05.00 sore dengan ritual foto bersama, peserta dan panitia.

Sebagai tindak lanjut dari pelatihan KKTM dan PKM itu, maka para peserta akan diikutisertakan ke dalam Lomba LKTM tingkat fakultas (FIP). Oleh karena itu, dalam kegiatan pelatihan tersebut juga terselip mentoring, ”Mentoring diadakan sebagai pendalaman ide peserta,” ujar Nova.

Mentoring dilakukan setelah materi. 43 peserta dibagi kepada 3 (tiga) mentor, yang terdiri dari, Nova (mahasiswa PP 05), Nining (mahasiswa PP 05) dan Fitri (mahasiswa PP 05).

Peserta pelatihan dibagi ke dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 3 (tiga) mahasiswa, ”Mereka akan berkompetisi pada KKTM dan PKM tingkat Fakultas yang terdiri dari Bidang IPS, IPA dan Pendidikan, kemudian Univeritas, Wilayah dan Nasional.” ujar SC pelatihan ini, Nova.

Keseluruhan kegiatan pelatihan penulisan KKTM dan PKM cukup menarik, seperti yang diungkapkan oleh Derry, mahasiswa MP 2007, ”Kegiatannya menarik.” Namun, beberapa peserta juga ada yang kecewa karena tidak disediakan cukup kertas untuk menulis, ”Ini kan pelatihan penulisan, jadi kertas harus ada!” ujar peserta yang tidak mau disebutkan namanya.

PIMNAS 2009

PIMNAS merupakan ajang besar tahunan yang diadakan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Tahun ini, PIMNAS akan berlangsung di Malang, Universitas Brawijaya. Di dalamnya PIMNAS sendiri terdapat banyak kegiatan. Menurut Sekretaris FIDE, Novalia, dalam PIMNAS terdapat beberapa kegiatan seperti debat bahasa asing, lomba poster, pameran hasil penelitian setiap universitas dan KKTM-PKM.

PIMNAS tahun lalu, 2008, diadakan di Universitas Islam Sultan Agung (UNNISULA) Semarang. Pada PIMNAS itu, UNIBRAW Malang unggul pada PKM. Sementara di UNJ sendiri belum beruntung.

Pelatihan penulisan KKTM dan PKM yang diadakan FIDE merupakan respon atas PIMNAS ini. Kegiatan setelah pelatihan merupakan inti dari Pelatihan Penulisan KKTM dan PKM. Peserta pelatihan telah dibagi ke dalam beberapa kelompok, yang setiap kelompok terdiri dari 3 (tiga) orang.

Setiap kelompok itu akan mengadakan penelitian di bidang pendidikan, IPS dan IPA. Kompetisi dimulai dari tingkat fakultas, kemudian Universitas. Juara 1 (satu) dan 2 (dua) akan menuju ke tingkat wilayah. UNJ berada di wilayah A, Sumatera, Banten dan DKI Jakarta. PIMNAS lalu, FIP belum lolos ke tingkat Nasional.

(Laporan: Agung Darmawan dkk, Forum Idekita FIP UNJ)